REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak hanya terjadi pada bank konvensional, salah satu tantangan bank syariah pada tahun depan pun terkait pengetatan likuiditas. Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketatnya kebijakan moneter negara maju yang berimbas pada kebijakan moneter negara berkembang seperti Indonesia.
Seperti diketahui, tahun ini Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 175 basis poin (bps). Dengan begitu kini menjadi enam persen.
"Transmisi kebijakan moneter tersebut akan terlihat pada 2019. Berdampak pada pengetatan likuiditas perbankan, di perbankan syariah bahkan akan lebih ketat karena terkait pengelolaan dana haji," ujar Enterprise Risk Management Group Head Bank Syariah Mandiri (BSM) M Fanny Fansyuri saat ditemui di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), di Jakarta, Senin, (10/12).
Ia menjelaskan secara Undang-Undang (UU), dana kelola Badan Penyelenggara Kegiatan Haji (BPKH) yang saat ini masih disimpan di perbankan syariah harus mulai disebar. Nantinya, maksimal hanya 50 persen yang boleh ada di bank syariah, sementara sisanya harus diinvestasikan ke instrumen lain.
"Dari sumber BPKH, dana mereka yang di bank syariah masih 60 persen. Maka tahun depan, akan terjadi penarikan. Ini alasan bank syariah likuiditasnya ikut ketat," jelasnya.
Selain itu, kata dia, biasanya pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan dana lebih tinggi dari pembiayaan. Hanya saja, di 2018 secara year to date (ytd), pembiayaan justru tumbuh lebih tinggi dibandingkan dana.
"Maka secara industri, LDR (Loan to Depocit Ratio) di atas 90 persen. Ini sinyal likuiditas semakin ketat," kata Fanny.
Meski begitu, dirinya menyebutkan, saat ini likuiditas BSM masih baik. Terbukti dari Financing to Depocit Ratio perseroan yang berada di level 83 persen.
Lebih lanjut, Fanny menuturkan per September 2018, secara year on year (yoy) pertumbuhan dana serta pembiayaan BSM sama-sama di Kisaran 14 persen. "Hanya saja pembiayaan tumbuh 14 persen lebih di atas pendanaan," ujarnya.