Kamis 29 Nov 2018 10:24 WIB

Pengamat: Revisi HPP Patut Dipertimbangkan

HPP membatasi daya jual petani yang ingin menjual dengan harga lebih tinggi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pengunjung mengecek  beras jenis medium saat peluncuran Operasi Pasar di Pasar Induk Beras, Jakarta Timur, Kamis (22/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengunjung mengecek beras jenis medium saat peluncuran Operasi Pasar di Pasar Induk Beras, Jakarta Timur, Kamis (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, sejak awal, target serapan beras yang dicanangkan pemerintah memang sudah tidak realistis. Sebab, Indonesia belum memiliki tingkat produktivitas memadai untuk memberikan toleransi harga yang diinginkan oleh Bulog.

Diketahui, realisasi dari target cadangan beras pemerintah (CBP) tidak tercapai. Dari target harian serapan sebesar 27.000 ton, hanya 4.000 ton yang terealisasi.

Ilman mengatakan, mekanisme untuk memenuhi target serapan gabah ini mengharuskan Bulog untuk menyerap gabah petani dengan target penyerapan sebesar 2,7 juta ton hingga akhir tahun 2018. "Target penyerapan ini dibagi menjadi dua term yaitu Januari-Juli 2018 sebesar 2,31 juta ton dan sisanya di bulan Agustus hingga September," tuturnya dalam keterangan persnya, Kamis (29/11).

Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling dengan harga di kisaran Rp 3.700 untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp 4.600 untuk Gabah Kering Giling (GKG) dan Rp 7.300 untuk beras. Fleksibilitas harga hanya diperbolehkan maksimal 10 persen.

Ilman mengatakan, HPP membatasi daya jual petani yang ingin menjual dengan harga lebih tinggi. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjual berasnya ke tengkulak, yang tentu saja akan memengaruhi harga beras di pasar. "Musim kemarau dan serangan hama juga mengakibatkan hasil panen berkurang," ucapnya.

Menurut Ilman, pemerintah perlu mempertimbangkan kenaikan HPP karena beberapa hal. Harga di pasar selalu jauh lebih tinggi dari HPP, sehingga tentu akan membuat petani merugi. Sebab, mereka dihadapkan pada stok panen gabah yang terbatas dan musim kemarau panjang dan meningkatnya biaya produksi.

Bertambahnya biaya produksi yang tinggi mau tidak mau akan mempengaruhi harga beras. Dengan kondisi ini, Ilman menilai, pemerintah justru sebaiknya perlu meninjau ulang. "Jika perlu mencabut skema HPP yang diatur dalam aturan tersebut dan fokus menjaga stabilitas harga beras melalui operasi pasar menggunakan cadangan beras yang tersedia di gudang Bulog," katanya.

Sementara itu, pemerintah menyiapkan skema baru penyerapan CBP. Upaya tersebut untuk mempermudah Perum Bulog dalam melaksanakan tugas penyerapan gabah dan menjaga kondisi keuangannya.

"Untuk CBP ini soal pembiayaannya itu tadinya selalu dijumlah semuanya dulu baru diperhitungkan dan disetor uangnya," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta pada Rabu (28/11).  

Darmin mengatakan, berdasarkan hasil rapat koordinasi, pemerintah akan memperhitungkan selisih biaya dan pendapatan Bulog dalam setiap pembelian maupun penjualan serta operasi pasar beras. Selisih tersebut yang kemudian akan ditutup oleh APBN agar Bulog tidak merugi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement