Senin 26 Nov 2018 11:09 WIB

Perang Dagang Kurangi Permintaan Karet Thailand

Cina merupakan pasar besar bagi ekspor lateks Thailand.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Pekerja mengumpulkan hasil sadapan getah karet
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Pekerja mengumpulkan hasil sadapan getah karet

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Para petani Thailand bekerja di kesuraman menjelang fajar, menyadap pohon untuk ‘white gold’ yang sudah membuat negara mereka menjadi penghasil karet terbesar di dunia. Akan tetapi, karena harga merosot akibat perang dagang Amerika Serikat dengan Cina, mereka terpaksa menyerah.

Lateks Thailand dikenal sebagai bahan baku untuk diversifikasi produk, dari ban hingga empeng bayi dan sarung tangan bedah. Buah dari pohon karet yang dibudidayakan di berbagai lahan itu seperti tak ada habisnya di negara itu. Tapi, perdagangan karet kini berada di persimpangan jalan sebagai dampak perselisihan dua negara ekonomi terbesar dunia dengan konsekuensi tak terduga.

Dilansir Straits Times, Senin (26/11), negara-negara seperti Vietnam mendapatkan manfaat dari perang dagang. Produsen bermigrasi dari Cina ke negara tersebut untuk menghindari penetapan tarif ekspor ke Amerika Serikat.

Tapi, kondisi itu tak dirasakan Thailand. Di Negeri Gajah Putih ini, harga karet merosot 20 persen sejak Juni karena tarif yang sama menghantam keras di pabrik-pabrik Cina. Diketahui, Cina merupakan pasar besar bagi ekspor lateks Thailand.

Dampaknya, beberapa pekerja karet Thailand terpaksa meninggalkan pekerjaan perkebunan mereka untuk berpindah ke pabrik. "Saya tidak bisa memberik makan anak-anak saya lagi," ujar Annita.

Dulunya, Annita bekerja 10 jam sehari untuk memanen lateks di Chiang Rai, Thailand bagian utara. Dari pekerjaan itu, Annita mendapat upah tujuh dolar AS per hari Karena merasa kurang, ia mengambil pekerjaan tambahan di pabrik pengepakan dengan penghasilan sekitar sembilan dolar AS per hari.

Selama ini, pemberitaan utama sering terfokus pada penderitaan petani kacang kedelai di Amerika yang terkena tarif 25 persen untuk akses pasar Cina. Tapi, sebenarnya, kondisi parah juga dialami industri karet Thailand. Harga karet di Thailand menurun menjadi sekitar 1,21 dolar AS per kilogram atau lima kali lipat lebih rendah dibandingkan 2011.

Sekitar sepertiga dari karet di dunia berasal dari Thailand. Di negara ini, lateks dipanen pada malam hari atau sebelum fajar oleh penyadap yang membuat sayatan dan mengumpulkan getah. Thailand memproduksi sekitar 4,6 juta ton karet per tahun. Selain penurunan harga global, penurunan permintaan dari Cina yang tiba-tiba membuat industri semakin terjatuh.

Manajer pemasaran di Thai Hua Rubber, Karako Kittipol, mengatakan, iklim kepastian dirasakan di industri setelah penetapan tarif Amerika hampir di semua impor Cina. "Perusahaan-perusahaan Cina tidak ingin memiliki terlalu banyak stok karet," ujarnya kepada AFP.

Nilai yuan terhadap dolar AS juga merosot, membuat karet lebih mahal bagi pabrikan Cina untuk membeli.

Thailand merupakan pengamat dalam perang dagang antara Cina dan Amerika. Tapi, pemerintah sedang mencoba mengatasi masalah sisi pasokan dengan mengurangi area penanaman karet hingga 60 ribu hektare per tahun selama lima tahun ke depan.

Baca juga, Jokowi Janji Beli Karet Petani dengan Harga Lebih Tinggi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement