Jumat 16 Nov 2018 22:15 WIB

Pengamat Sebut Data Kementan Soal Beras Sudah Benar

Semua pihak bijak dan berkaca kembali di setiap penyusunan program

Red: EH Ismail
Pekerja mengangkut karung berisi beras stok Rasta/Raskin (beras untuk warga prasejahtera) di Gudang Bulog Serang, Banten, Kamis (8/11/2018).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Pekerja mengangkut karung berisi beras stok Rasta/Raskin (beras untuk warga prasejahtera) di Gudang Bulog Serang, Banten, Kamis (8/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Data produksi beras Badan Pusat Statistik (BPS) pendekatan baru (Kerangka Sampel Area-KSA) yang mencatat angka surplus beras lebih rendah dibanding data BPS dengan pendekatan metode yang lama eye estimate, masih menjadi polemik. Sdiebagian pihak menyeret angka data produksi beras pendekatan KSA untuk mendorong impor beras, khawatir Indonesia bakal menghadapi kekurangan stok pangan.

Impor  ini ditolak kalangan petani. Mereka meminta agar data BPS pendekatan KSA terlebih dulu melalui pengujian, sebelum akhirnya dijadikan pijakan menelurkan kebijakan impor. Karena petani adalah pihak pertama yang akan langsung merasakan dampak beras impor.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail mengajak semua pihak bijak dan berkaca kembali, di setiap penyusunan program dan kebijakan pembangunan, terutama di sektor pertanian harus berbasis pada data.

 “Dalam kontek ini, ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu menjadi krusial untuk menyusun kebijakan dan program pembangunan yang tepat, termasuk didalamnya kebijakan dan program pembangunan pertanian,” kata UP Ismail dalam keterangan tertulisnya  yang diterima Republika.co.id.

Ia menilai, Kementan tidak salah karena selama sudah bekerjasama dengan BPS untuk menggunakan data yang benar, dalam kebijakan dan programnya.

UP Ismail, yang juga Ketua Perhepi Komda Pekanbaru menambahkan, pertanyaan selanjutnya adalah apa seharusnya yang dipakai pijakan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan program pengembangan padi. Kalau dengan pendekatan metode KSA disepakati lebih baik dari metode sebelumnya, maka Pemerintah sudah sepatutnya memanfaatkan ketersediaan data tersebut di atas untuk dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan dan program-program pengembangan komoditas padi ke depan.

 “Hal ini agar tidak menimbulkan polemik apakah pemerintah masih perlu melakukan impor atau tidak”, jelasnya. 

Hampir semua pihak sepakat, bahwa akurasi data pangan pendekatan KSA lebih baik dari pendekatan eye estimate yang bebelumnya digunakan BPS. Dengan demikian, pihak-pihak yang sepakat tadi mengakui fakta, bahwa berdasarkan pendekatan KSA, Indonesia mengalami surplus beras.

 “Hal ini sekaligus cermin keberhasilan upaya pemerintah dalam hal terus meningkatkan produksi pangan dalam negeri, khususnya beras,” tuturnya.

Jika pada akhirnya pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian memutuskan perlunya langkah importasi beras, tentu bukan karena petani di tanah air tidak mampu menyediakan beras bagi penduduk Indonesia. 

 “Sehingga, jangan dipahami importas itu karena masalah produksi. Tetapi lebih kepada pertimbangan menjaga stabilitas harga. Dalam rangka mendukung upaya pemerintah menjaga laju angka inflasi sesuai target. Bukan karena produksi,” kata Dekan Fakultas Pertanian UIR tersebut.

Sebelumnya Pengamat Ekonomi Pertanian Khudori juga pernah menyampaikan, terbitnya data pangan baru BPS hendaknya menjadi momentum untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan menyejahterakan rakyat, termasuk petani.

Seperti diumumkan pada akhir bulan lalu,  BPS menyatakan, pada 2018 dengan pendekatan KSA produksi padi dalam negeri lebih tinggi dari kebutuhan. Produksi padi setara beras sebesar 32,42 juta ton. Sementara kebutuhan beras nasional sekitar 29,57 juta ton, sehingga diperkirakan akan ada surplus beras sekitar 2,85 juta ton.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement