REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bima Yudhistira menilai defisit transaksi berjalan (CAD) jadi indikator stabilitas di sektor moneter khususnya menentukan nilai tukar rupiah kedepannya. Semakin lebar CAD diatas batas psikologis 3 persen maka kemungkinan rupiah akan semakin lemah di akhir tahun ini dengan estimasi 15.400-15.600.
Kebutuhan akan valuta asing (valas) meningkat karena lonjakan impor secara musiman di akhir tahun. Sementara kinerja dari ekspor jasa khususnya pariwisata belum menunjukkan peningkatan yg signifikan kendati ada event internasional.
"Target 17 juta wisatawan mancanegara tahun ini sulit tercapai. Diakhir tahun pembiayaan cicilan dan bunga utang pemerintah maupun swasta juga menyedot pasokan valas," kata dia pada Republika.co.id, Jumat (26/10).
Inflasi pada akhir tahun biasanya memang tinggi. Permintaan makanan di Oktober-Desember meningkat didorong faktor libur Natal dan Tahun baru. Pelemahan kurs juga mulai berdampak pada harga bahan makanan atau imported inflation.
Kedepannya harga BBM non subsidi beresiko kembali disesuaikan. Inflasi yang mulai naik punya dampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat untuk menahan belanja dan cenderung menabung. Ini berimbas pada lambatnya akselerasi sektor riil.
Untuk BBM jenis premium, Bima memperkirakan akan disesuaikan setelah pemilihan presiden pada April. Pilpres pun diproyeksikan akan memiliki dampak pada investasi.
"Banyak yang menahan diri untuk masuk ke Indonesia. Bisa melemahkan kurs rupiah kalau investasi yang masuk tertunda. Sementara dampak ke inflasi kecil," katanya.