REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut, keputusan impor beras pada 2018 dikeluarkan untuk menjaga daya beli masyarakat. Menurut Darmin, jika pemerintah tidak melakukan impor, harga beras bisa melonjak lantaran kekurangan pasokan di pasar.
"Filipina, mereka tidak mau impor tahun ini. Kemudian, inflasi Agustusnya, bum! Di atas enam persen. Padahal inflasinya biasanya hanya dua persen," kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta pada Rabu (24/10).
Dia menegaskan, kebijakan impor bukan sesuatu yang terlarang. Hal itu, menurutnya, bisa menjadi cara untuk menghindari kejadian seperti Filipina. Dia mengatakan, pemerintah telah mendeteksi lonjakan harga bahan pangan itu sejak akhir 2017.
Keputusan impor kemudian diambil setelah ada rapat koordinasi pada Januari 2018. Hal itu dipicu kondisi stok beras di gudang Bulog yang hanya 580 ribu ton. "Itu karena ada yang bilang kita mau panen raya di Maret 2018, pasti surplus," kata mantan Gubernur Bank Indonesia itu.
Baca juga, Polemik Impor Beras dan Kegeraman Beras.
Pada Maret 2018 atau saat panen raya terjadi, kondisi cadangan beras Bulog masih berada di kisaran 500 ribu ton. Atas dasar itu, kemudian pemerintah memutuskan untuk menambah kuota izin impor hingga mencapai 2 juta ton.
Data produksi beras BPS menunjukkan surplus sebesar 2,85 juta ton pada 2018. Meski begitu, menurut Darmin, surplus tersebut belum cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar. "Itu kalau petani menyimpan sedikit saja produksinya jadi tidak ada di pasar berasnya," katanya.
Rentetan peristiwa itu, kata Darmin, yang menjadi dasar pemerintah melakukan impor beras tahun ini. Darmin menegaskan, keputusan impor diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas harga beras.
Ke depannya, Darmin optimis kebijakan terkait beras akan lebih baik dibandingkan sebelumnya. "Kita sekarang bisa kaji situasinya seperti apa, ada impor atau tidak akan bisa diambil posisinya walaupun tentu akan kita cek dulu kondisi Maret karena itu panen rayanya," kata dia.