Rabu 24 Oct 2018 18:48 WIB

Kementan: Data BPS Menjadi Pegangan Kami

Menurut Kementan, produksi beras di dalam negeri surplus 2,8 juta ton

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nidia Zuraya
Pedagang beras melayani pembeli. ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang beras melayani pembeli. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai pengguna selama ini mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk dalam menghasilkan data pangan. Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro mengatakan, selama ini BPS menggunakan metodologi dengan ubinan dan pengamatan orang.

"Ini kemudian menjadi pegangan untuk banyak pihak termasuk Kementan," katanya dalam bincang media di Gedung PIA Kementan, Rabu (24/10). Metodologi tersebut merupakan metodologi lama yang kini mulai diperbaharui.

Pada tahun ini, pemerintah dalam hal ini BPS melakukan perubahan signifikan mengenai pembaruan metodologi data pangan. Ia pun mengapresiasi tindakan pemerintah tersebut dalam memperbaiki data pangan.

Kendati demikian, dengan adanya perubahan ini, Kementan tetap mengacu pada BPS mengingat sumber data BPS menurut Undang-Undamg adalah menjadi representasi nasional.

"Bagi Kementan, kita hanya fokus kepada menanam, menanam, menanam supaya mencukupi kebutuhan pangan," ujarnya.

Ia melanjutkan, saat ini terjadi peningkatan populasi pada 2014-2018 mencapai 12,28 juta jiwa. Itu artinya diperlukan tambahan beras untuk memenuhi konsumsi mereka sebesar 1,7 juta ton beras.

Produksi beras yang menurutnya masih baik tidak berdampak pada gejolak harga. "Indikasi berarti stabil tapi tidak merugikan petani," tegasnya.

Manfaatkan Teknologi

Guna memenuhi target produksi komoditas strategis di tengah tantangab alih fungsi lagan pertanian, Kementan menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Bukan semata memanfaatkan lahan irigasi melainkan memanfaatkan raksasa tidur berupa lahan suboptimal seperti lahan rawa.

Berdasarkan data Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan mencapai 34,1 juta hektare. Angka tersebut termasuk 20 juta hektare lahan rawa pasang surut dan lebih dari 13 juta hektare lahan rawa lebak.

Dari jumlah itu, sebanyak 9,52 juta hektare di antaranya bisa dikembangkan untuk pertanian. Potensi itu lebih luas dibandingkan lahan sawah irigasi yang hanya 8,1 juta hektare.

Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan menjadi dua wilayah dengan lahan rawa paling luas. Menurut Syukur, dengan dikembangkannya lahan rawa di kawasan timur dan tengah tersebut dapat memastikan ketersediaan produksi sepanjang masa.

"Kawasan timur dan tengah iklim beda sehingga nanti sepanjang tahun tidak ada paceklik, Insyaallah tidak ada kekurangan padi," kata dia.

Begitu juga dengan pemanfaatan lahan kering di Indonesia yang mencapai 42 juta hektare. Lahan kering yang potensial sekitar 9,2 juta hektare dan bisa dimanfaatkan dengan teknologi air untuk meningkatkan keasamannya.

"Dengan ada kemajuan teknologi tidak ada lahan marjinal," kata dia. Ini bisa dimanfaatkan mengingat terjadinya alih fungsi lahan di Pulau Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement