REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Politik Pertanian sekaligus Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mengatakan, data Kementan tentang beras semua bersumber BPS dengan metode eyes estimate, sedangkan data terbaru yang dirilis juga dari BPS dengan Metode KSA.
“Sejak jaman orde baru sampai sekarang data pangan satu pintu di BPS. Kementan tidak mengolah data pangan. Semua rilis data Kementan logikanya berasal dari BPS,” kata Gandhi di Bogor, Rabu (24/10).
Hal itu dikatakan Gandhi terkait pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut JK, data produksi beras nasional selama 20 tahun terakhir keliru. Terhitung sejak 1997 hingga saat ini, angka produksi beras terus bertambah, sehingga tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Namun demikian, menurutnya kekeliruan ini merupakan kesalahan banyak pihak.
"Data itu kesalahan bersama, bukan kesalahan Menteri Pertanian saja. Kesalahan BPS juga, kesalahan Kementerian Agraria juga, kesalahan Kementan juga, kesalahan bupati juga, kesalahan bersama ini," tegas JK.
Berdasarkan data rilis terbaru BPS dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA), luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta ha tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018. Potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta ha, sementara proyeksi Kementerian Pertanian (Kementan) 15,5 juta ha. Begitu pun produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras sementara proyeksi Kementan 83,3 juta ha atau setara 48 juta ton. Dengan demikian, metode KSA pun, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018.
Menurut pria jebolan Magister Ekonomi Pembangunan IPB ini, sejak dulu hingga saat ini BPS yang mendata metode eyes estimate kemudian mengolah dan merilis data pangan. Tetapi, sejak 2016 sampai kemarin BPS tetap mendata, mengolah, namun tidak merilis data pangan karena menunggu perbaikan data dengan KSA.
“Data BPS metode eyes estimate itulah yang dirilis Kementan dan disajikan. Jadi data yg dimiliki dan ada di laman kementan itu 100 persen adalah data bersumber BPS. Tapi BPS rilis untuk intern,” terang Gandhi.
Gandhi menilai, justru selama tiga tahun ini Kementan menjadi pihak yang dirugikan karena BPS tidak merilis data. Akhirnya Kementan meminta dan memakai data BPS yang tidak dirilis tersebut.
“Setuju dan lebih bagus bila BPK dan KPK mengaudit ini sehingga terang benderang bagi publik bahwa semua data atau kedua data berbeda itu sumbernya sama-sama bersumber BPS, Angka yang beda itu karena metode ukur lama, di mana metode BPS eyes estimate didukung data DAS, benih, data podes versus satunya metode baru yakni KSA. Kedua data berbeda ini sesungguhnya 100% bersumber eyes estimate BPS, jika metode KSA lebih relatif kecil intervensi klaim dari pada eyes estimate bps kedepan kita harus memperbaiki metodologi penghitungan ” ujarnya.
Terlepas dari diskursus metode penghitungan ini, sambung Gandhi, semangat diversifikasi pangan dan mengurangi impor bahan pangan pokok yang di gaungkan Mentan Amran harus tetap dijaga.
“Jangan sampai data berkurangnya luas lahan panen menjadi alasan dibukanya kran impor sebesar-besarnya menjelang pilpres 2019,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan tidaksepakat terhadap data perberasan yang baru saja dirilis pemerintah. Menurutnya, surplus seharusnya lebih besar dari 2,85 juta ton jika menghitung stok di rumah tangga petani sebanyak 15 juta keluarga atau setara 6,2 juta ton pada 2017.
“Kemudian, ditambah stok di masyarakat 8,2 juta ton, maka totalnya 17,2 juta ton. Tidak mungkin surplus hanya 2,8 juta ton,” kata dia.