REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Musim kemarau panjang dengan suhu udara yang ekstrim pada tahun ini membawa keberkahan tersendiri bagi para petambak garam di Kabupaten Cirebon. Hasil panen garam mereka menjadi berlimpah.
Semestinya, tingginya produksi itu bisa menambah pundi-pundi keuntungan para petambak garam. Namun ternyata, rendahnya harga menjadi kendala mereka dalam meraup keuntungan.
Memulai masa panen sejak Juli 2018, harga garam di tingkat petambak hingga kini terus mengalami penurunan. Harga yang awalnya sempat menyentuh Rp 2 ribu per kg, berangsur-angsur turun menjadi Rp 1.600 per kg, Rp 1.200 per kg, Rp 800 per kg, Rp 600 per kg dan kini berkisar Rp500 per kg. Bahkan, ada yang hanya Rp 450 per kg. Harga di tingkat petambak itu, sepenuhnya ditentukan oleh tengkulak.
"Selama ini tidak ada standardisasi harga garam seperti halnya beras. Karena itu, harga garam selalu disetir tengkulak," keluh seorang petambak garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Yusuf, Rabu (17/10).
Yusuf menyebutkan, di musim kemarau tahun ini, produksi garam para petambak garam di daerahnya memang tinggi. Bahkan, rata-rata bisa mencapai satu sampai tiga ton garam per hari, tergantung luas lahannya. Yusuf berharap, pemerintah bisa memperhatikan nasib petambak garam. Dengan demikian, harga garam tak dikendalikan oleh tengkulak, terutama di saat panen raya seperti sekarang.
Apalagi, musim kemarau saat ini masih terus berlangsung di wilayah Kabupaten Cirebon. Otomatis hal itu akan membuat produksi garam petambak terus bertambah. Pasalnya, masa produksi garam petambak selama ini bergantung pada kondisi cuaca.
Hal senada diungkapkan petambak garam lainnya di Desa Rawaurip, Wawan. Dia pun berharap agar pemerintah bisa memberikan perlindungan harga terhadap garam petambak. Dengan cara itu, tengkulak tak bisa mempermainkan harga garam.
"Inginnya sih ada standar harga garam supaya tidak anjlok seperti sekarang," tutur Wawan.