Selasa 16 Oct 2018 17:20 WIB

Menkeu Sebut Alokasi Anggaran Subsidi 2019 tak Berubah

Pemerintah mengusulkan perubahan asumsi kurs rupiah pada RAPBN 2019

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10)
Foto: antara/akbar
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Gubernur BI Perry Warjiyo (kiri) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat kerja dengan banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/10)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS memaksa pemerintah mengusulkan perubahan asumsi kurs rupiah pada RAPBN 2019. Meski asumsi kurs rupiah mengalami perubahan, namun Kementerian Keuangan memastikan alokasi anggaran subsidi untuk tahun depan tidak mengalami perubahan.

Meski mengalami perubahan asumsi nilai tukar rupiah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai hal ini tidak melulu berdampak negatif. Ia menjelaskan depresiasi nilai tukar rupiah akan menampah pendapatan negara.

Sri Mulyani menjelaskan, perubahan asumsi kurs rupiah ini tidak akan berdampak pada postur anggaran subsidi pada tahun depan. "Untuk subsidi solar tetap dipatok sebesar Rp 2.000 per liter," ujarnya di Rapat Banggar, Selasa (16/10).

Selain itu, untuk alokasi volume elpiji bersubsidi juga tidak berubah. Hal yang sama, lanjut Menkeu, juga berlaku untuk subsidi listrik. "Usulan subsidi untuk listrik tetap sesuai dengan usulan yang sudah dipaparkan sebelumnya," katanya menambahkan.

Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan perubahan asumsi nilai tukar ini untuk mengantisipasi pergerakan kondisi ekonomi global.  Sebelumnya pada pembahasan asumsi makro RAPBN 2019 kemarin pemerintah sempat mengusulkan asumsi nilai tukar berada pada angka Rp 14.500 per dolar AS.

Sementara Bank Indonesia melihat adanya range nilai tukar yang berada pada angka Rp 14.800-Rp 15.200 per dolar AS. "Kami mengusulkan menggunakan nilai tengahnya di angka tengahnya di Rp 15.000 untuk nilai tukar tahun 2019," ujar Menkeu.

Sri Mulyani mengatakan Indonesia perlu mewaspadai dinamika ekonomi global yang makin dinamis yang dipicu antara lain oleh kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menaikkan suku bunga, mengetatkan likuiditas dolar AS serta perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina.

Ia juga menjelaskan, melihat kondisi kenaikan impor yang cukup tinggi di atas ekspor mengakibatkan neraca perdagangan yang masih defisit pada bulan Agustus 2018. Selain itu, dari hasil Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 di Bali baru-baru ini mengindikasikan masih akan terjadi ketidakpastian ekonomi global tahun 2019 tapi dengan arah yang lebih positif dibanding tahun ini.

"Untuk asumsi makro lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak per barel, dan lifting minyak diproyeksikan masih sama dengan yang telah dibahas antara Pemerintah dengan DPR sebelumnya," tuturnya.

Namun ia meminta meski nilai tukar rupiah mengalami kenaikan beban perpajakan tetap sesuai dengan usulan yang sudah dipaparkan pada rapat sebelumnya. "Perpajakan non migas terutama tidak dapat berubah sejalan dengan sensitivitas ekonomi makro," ujar Sri Mulyani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement