REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Mata uang Arab Saudi, riyal, jatuh ke level terendah dalam dua tahun dan harga obligasi internasionalnya merosot pada Senin (15/10). Kejatuha riyal dipicu kekhawatiran bahwa arus masuk investasi asing dapat menyusut ketika Riyadh menghadapi tekanan atas hilangnya jurnalis Jamal Khashoggi.
Perdagangan di pasar mata uang berjangka, yang digunakan oleh bank untuk melakukan investasi lindung nilai, menunjukkan beberapa lembaga melindungi diri mereka terhadap risiko arus keluar modal atau sanksi-sanksi AS terhadap Riyadh setelah hilangnya Khashoggi, seorang kritikus terkemuka terhadap pemerintah Saudi, di Istanbul.
Tetapi pergerakan pasar lebih kecil daripada beberapa ketidakstabilan dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan investor tidak begitu panik oleh kasus Khashoggi seperti mereka oleh penurunan harga minyak yang dimulai pada 2014.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberikan 'hukuman berat' untuk Riyadh jika ternyata Khashoggi tewas di konsulat Saudi di Instanbul, seperti yang dituduhkan pejabat Turki. Arab Saudi membantah ini dan pada Ahad (14/10) memperingatkan akan menandingi sanksi apa pun dengan sanksi yang lebih besar.
Harga minyak hanya bergerak sedikit pada Senin (15/10) karena para analis mengatakan mereka meragukan Arab Saudi, pengekspor minyak mentah terbesar dunia, akan berisiko isolasi internasional dan merusak keuangannya sendiri dengan mengurangi ekspor pada saat kerajaan itu mendorong reformasi yang dirancang untuk menciptakan lapangan kerja dan diversifikasi ekonomi.
Tapi Krisjanis Krustins, direktur tim Timur Tengah dan Afrika di lembaga pemeringkat kredit Fitch, mengatakan peristiwa itu bisa merugikan beberapa bagian dari program reformasi. "Jika ada perubahan kekal dalam keinginan investor untuk terlibat dengan Arab Saudi, itu bisa menyebabkan beberapa implementasi inisiatif Visi 2030 lebih lambat dan kurang lengkap, dan dibutuhkan penggunaan utang dan sumber daya internal yang lebih besar bagi Arab Saudi untuk pembiayaannya," kata dia.
Riyal diperdagangkan di level 3,7524 terhadap dolar AS di pasar spot pada Senin (15/10) pagi. Ini menjadi tingkat terlemah riyal sejak September 2016.
Bank sentral mempertahankan patokan 3,75 riyal terhadap dolar AS, dan biasanya mata uang berfluktuasi dalam kisaran sekitar 3,7498-3,7503. Pada November 2015, ketika harga minyak jatuh, riyal turun ke serendah 3,7598.
Di pasar berjangka, dolar AS naik pada Senin (15/10) setinggi 100 poin terhadap riyal, tertinggi sembilan bulan, dari 54 poin pada Jumat (12/10). Pada 2016, secara singkat naik di atas 1.000 poin.
Imbal hasil pada obligasi dolar AS Arab Saudi naik, sebagian besar di ujung panjang kurva; obligasinya jatuh tempo pada 2046 adalah 15 basis poin lebih lebar.
Krustins dan analis lainnya mencatat bahwa arus investasi asing ke Arab Saudi sudah sangat rendah karena sektor swasta yang lemah dan ketidakpastian peraturan; ini dapat membatasi dampak dari pengurangan aliran.
Semakin banyak organisasi media dan eksekutif, termasuk kepala eksekutif JP Morgan Chase & Co Jamie Dimon, telah menarik diri dari konferensi investasi utama Riyadh yang dijadwalkan minggu depan, dijuluki 'Forum Davos di Gurun'.
Pasar saham Saudi telah jatuh 7,2 persen selama dua hari perdagangan sebelumnya karena kasus Khashoggi, tetapi rebound 2,0 persen pada Senin (15/10). Para pedagang mengatakan beberapa investor institusional, termasuk investor asing, membeli saham di posisi terendah, percaya bahwa situasi fundamental ekonomi Arab Saudi tidak akan banyak berubah.
Tetapi banyak bankir dan analis mengatakan kasus Khashoggi telah memicu persepsi risiko politik di Arab Saudi, karena itu merupakan yang terbaru dalam serangkaian insiden tak terduga selama tiga tahun terakhir.
Selama periode ini Arab Saudi telah melancarkan perang di Yaman, memberlakukan embargo terhadap Qatar, menangkap puluhan pejabat tinggi dan pengusaha dalam pembersihan korupsi, menahan aktivis hak-hak perempuan dan melihat ketegangan dengan Kanada dan Jerman meningkat.
Jason Tuvey, ekonom senior emerging markets di Capital Economics yang berbasis di London, mengatakan perkembangan politik di Arab Saudi menjadi risiko ekonomi yang semakin penting.