REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya meningkatkan produksi rempah Tanah Air. Salah satunya melalui penerapan teknologi.
"Kita tidak bisa maju tanpa teknologi," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam orasi pengukuhan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Muhammad Syakir sebagai Profesor Riset Kementerian Pertanian ke 132 di Auditorium Sadikin Sumintawikarta, Senin (15/10).
Indonesia sejak awal tahun 90-an dikenal dengan rempah-rempahnya, bukan karena tambang. Banyak negara dari Eropa datang mencari rempah-rempah. Bahkan saat itu, Vietnam yang adalah eksportir lada nomor satu dunia belajar mengenai tanaman rempah di Indonesia. "Nah, ini akan kita kembalikan kejayaan itu," tegas dia.
Keberhasilan Vietnam ini didukung oleh pengembangan teknologi budidaya yang menyeluruh, sehingga mereka berhasil memacu peningkatan produktivitas lada menjadi sekitar 2,5-32 ton per hektare per tahun, jauh di atas produktivitas lada nasional yang masih di angka satu ton per hektare per tahun.
Keunggulan lada Vietnam ini salah satunya dengan pengembangan dan modifikasi teknologi budidaya, sehingga lada dapat tumbuh diberbagai agro-ekosistem dengan produktivitas yang stabil.
"Kita kalah di produktivitas. Kelemahan kita petani menggunakan bibit seadanya," ujarnya.
Untuk itu, pada 2017-2018 Kementan menganggarkan Rp 5,5 triliun untuk pemberian bibit dan pupuk gratis bagi petani Indonesia. "Khususnya lada, kopi, pala, cengkeh dan lainnya," kata dia.
Ia menjelaskan, tanaman lada diperkirakan masuk ke Indonesia melalui Banten (Teluk Lada) kemudian menyebar ke Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Jepara dan Sumatera. Saat ini lada tersebar hampir di seluruh provinsi dengan luas areal 167.590 hektare, produksi 81.501 ton, produktivitas rata-rata 828 kilogram (kg) per hektare, melibatkan 279.040 Kepala Keluarga (KK) petani.
Lada adalah tanaman tropis dan sentra produksi lada saat ini di Indonesia adalah Provinsi Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Selatan.
Oleh karenanya, upaya ini perlu mendapat perhatian ke depan bagi Indonesia. Salah satu caranya dengan melakukan pengembangan modifikasi budidaya dengan memanfaatkan keunikan biologi dan karakteristik tanaman lada.
Tanaman lada tergolong tanaman dimorfik yang memiliki dua macam sulur. Salah satu nya adalah sulur buah yang tidak memiliki akar lekat, namun bersifat positif fototrof, dapat digunakan sebagai benih, tidak memerlukan tiang panjat, dan ini dikenal sebagai teknologi budidaya lada perdu.
Dalam kesempatan tersebut, Syakir mengatakan, melalui pengembangan teknologi Lada Perdu, maka akan terbuka peluang bagi pengembangan tanaman lada di berbagai agro-ekosistem, baik secara monokultur ataupun tumpang sari, dengan biaya produksi yang lebih murah.
Lada perdu tidak memerlukan tiang panjat. Ia menjelaskan, selama ini lada dikembangkan dengan menggunakan tiang panjang. Padahal, penggunaan tiang panjat mati harus yang tahan lama, harganya pun cukup mahal. Begitu juga dengan penggunaan tiang panjat hidup yang memerlukan pemeliharaan dan pemangkasan secara rutin, minimal dua kali setahun.
"Lada (perdu) ini bisa dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan, yang penting ada intensitas radiasi 50 sampai 75 persen," ujarnya.
Dengan memanfaatkan lahan di bawah tanaman tahunan, itu artinya penanaman lada yang merupakan king of spices tidak memerlukan lahan khusus. Lahan perkebunan dan perhutanan seperti kopi, kelapa, cengkeh dan karet sangat berpotensi besar untuk diselingi lada perdu di bawahnya.
"Sehingga pendapatan petani pekebun akan lebih tinggi karena beberapa tanaman yang bisa dikembangkan di antara perkebunan," katanya.
Ia pun optimis bisa kembali membawa Indonesia menjadi negara eksportir lada nomor satu dunia. Untuk diketahui, dua produk lada indonesia yakni lada putih munthok (Munthok White Pepper) dan lada hitam Lampung (Lampung Black Pepper) menjadi acuan preferensi perdagangan lada di dunia.