REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia mengalami deindustrialisasi dini sebab angka kontribusi industri belum mencapai 35 persen. Hal tersebut berbeda dengan deindustrialisasi yang dialami negara lain.
"Kita belum sampai 35 persen, baru 28 persen. Terlalu cepat turunnya itu," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, Ahad (14/10).
Ia menjelaskan, suatu negara maju memiliki industri yang kuat. Namun pada titik kontribusi tertinggi yakni 35 persen akan mengalami penurunan.
Penurunan industri tersebut diikuti dengan peningkatan sektor jasa. Tentu saja ada peralihan tenaga kerja. Namun, yang terjadi di Indonesia deindustrilaisasi saat belum mencapai puncaknya.
Di Indonesia, penurunannya bahkan konsisten dari tahun ke tahun. "Sekarang porsinya sekitar 20-an persen terhadap PDB," katanya.
Bahkan saat angka 28 persen tersebut Indonesia belum menjadi negara industri. Meski demikian, mengikuti pola perekonomian yang dialami negara lain, Indonesia mulai beralih ke sektor jasa.
Peran industri yang semakin kecil ini diyakini Eko telah disadari pemerintah. Kenyataan ini seharusnya segera direspons Kementerian-Kementerian teknis bukan hanya Kementerian Perindustrian tapi dari sisi perdagangannya, pertanian yang seharusnya menjadi basis industri, peningkatan kualitas tenaga kerja dan lainnya.
Dengan begitu, upaya-upaya hilirisasi yang dilakukan pemerintah tetap berjalan dengan baik dan maksimal."Kita menyadari adanya deindustrialisasi tapi kita mencoba untuk tetap menaikkan peran industri. Caranya adalah upaya melakukan reindustrialisasi lagi," ujar Eko.
Industri menjadi bagian penting bagi perekonomian Indonesia saat ini. Terkait transformasi sektor perekonomian, menurut Eko, yang menjadi persoalan adalah peningkatan kualitas tenaga kerja di Indonesia. Saat industri memiliki peran tinggi terhadap PDB, tenaga kerja tidak mengalami peningkatan kualitas sehingga tidak dapat terserap banyak. Pun halnya dalam transformasi sektor jasa ini.
Saat ini 70 persen maayarakat Indonesia berpendidikan SMP ke bawah.
"Jadi kebayang kalau kita jadi negara jasa, sebagian orang hanya jadi penonton saja," ujarnya.
Lain halnya dengan tetap menjadi negara industri yang masih bisa melibatkan masyarakat tersebut. Misalnya industri yang sifatnya padat karya.