Kamis 11 Oct 2018 17:56 WIB

IHSG dan Rupiah Kompak Ditutup Melemah

Sentimen perang dagang kembali membebani laju mata uang negara berkembang.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolanda
Karyawan beraktivitas di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (4/10).Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 111,11 poin atau 1,89 persen ke posisi 5.756,61 poin pada perdagangan hari ini.
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan beraktivitas di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (4/10).Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 111,11 poin atau 1,89 persen ke posisi 5.756,61 poin pada perdagangan hari ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin terperosok ke zona merah. Pada Kamis (11/10) sore, indeks saham ditutup melemah 2,02 persen atau 117,85 poin di 5.702,82.

Sejak pagi tadi, IHSG telah dibuka melemah 1,49 persen atau 86,67 poin di 5.734. Kemudian, pada akhir perdagangan sesi I, indeks saham menurun 106,17 poin atau 1,82 persen ke 5.714,5.

Tidak jauh berbeda dengan laju IHSG, kurs rupiah pun ditutup melemah. Dilansir Bloomberg, pelemahannya sebesar 35 poin atau 0,24 persen di Rp 15.235 per dolar AS. 

Sementara berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 15.253 per dolar AS. Angka itu lebih rendah dibandingkan posisi kemarin di Rp 15.215 per dolar AS. 

Bumiputera Sekuritas menilai, dipangkasnya proyeksi pertumbuhan global tahun ini dan tahun depan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) berakibat meningkatnya kerentanan pasar negara berkembang terhadap guncangan global. Hal itu menyeret mayoritas indeks-indeks di negara berkembang.

Kepala Riset Valbury Sekuritas, Alfiansyah mengatakan kenaikan IHSG secara beruntun dalam tiga hari terakhir, serta kekhawatiran peningkatan inflasi menyusul kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi turut membebani pergerakan IHSG. "Diharapkan inflasi tetap terjaga sesuai dengan target pemerintah dalam APBN 2018 sebesar 3,5 persen," katanya.

Sementara, bertambahnya kekuatan makro ekonomi Amerika menjadi salah satu penyebab dinaikkannya suku bunga Fed beberapa kali setahun ini. Hal itu menjadikan imbal hasil pemegang dolar meningkat dan menjadikan aset pasar berkembang yang berisiko kurang menarik.

Analis Valbury Asia Futures, Lukman Leong di Jakarta mengatakan sentimen perang dagang kembali membebani laju mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. "Beredar kabar Presiden AS Donald Trump siap meningkatkan tarif impor lebih lanjut terhadap produk Cina," ujarnya.

Perang dagang yang kembali memanas itu akan memicu Cina untuk melakukan devaluasi mata uangnya. Kondisi itu tentu berimbas negatif pada mata uang di kawasan sekitar. 

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement