Rabu 10 Oct 2018 17:54 WIB

Biaya Produksi Jadi Tantangan Penggunaan Energi Surya

Indonesia sebenarnya memiliki potensi pasar listrik surya yang besar.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Sejumlah pekerja memasang solar panel pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, Sumatra Selatan.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Sejumlah pekerja memasang solar panel pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Jakabaring Sport City (JSC), Palembang, Sumatra Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan, kontribusi energi surya yang dihasilkan melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mencapai 6,4 Giga Watt (GW) atau 6.400 Mega Watt (MW) pada 2025. Sampai saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, setidaknya baru 90 MW yang terpasang atau sekitar 1,3 persen dari target yang ditetapkan.

Kepala Subdit Pelayanan Usaha Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM Abdi Dharma Saragih menyebutkan, ada berbagai tantangan dan hambatan untuk mencapai target. Di antaranya, biaya produksi listrik tenaga surya yang relatif tinggi. "Dibanding dengan energi konvensional, harganya menjadi sulit bersaing," tuturnya dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Rabu (10/10).

Selain itu, terbatasnya insentif dan mekanisme pendanaan untuk PLTS. Tantangan ketiga yang disebutkan Abdi adalah PLTS tergolong dalam pembangkit listrik intermiten. Artinya, PLTS tidak stabil dalam menghasilkan energi listrik sehingga butuh adanya perlakuan khusus untuk dapat memasukannya dalam sistem dan jaringan listrik PLN.  

Terbatasnya kemampuan sistem penyerapan listrik dari PLTS dan kapasitas sumber daya mnausia dalam penguasaan teknologi energi surya menjadi tantangan berikutnya. Terakhir, masih tingginya kandungan impor dalam PLTS. Diperkirakan, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam PLTS hanya sekitar 57 persen dan sisa komponennya dikirim dari luar negeri, termasuk Cina.

Abdi menjelaskan, ada beberapa strategi yang telah dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Di antaranya dilakukan dengan smart microgrid dan smart minigrid ataupun peningkatan kerja sama dengan negara-negara yang sudah maju dalam penggunaan energi terbarukannya. 

"Kerja sama ini baik dari sisi modal, peningkatan kapasitas SDM melalui kemitraan bilateral, regional maupun multilateral," ucapnya.

Selain itu, terkait tingginya kandungan impor, strategi yang dilakukan adalah mempercepat hilirisasi industri modul surya. Abdi menyebutkan, tercatat, produksi modul surya dalam negeri hanya mencapai 20 MW, meningkat dari 15 MW pada tahun lalu dan 18 MW pada 2016. Kondisi ini kontras dibanding dengan produksi dari Cina yang sudah menyentuh 20 GW.

Abdi mengatakan, untuk menjawab tantangan, juga dibutuhkan sinergi yang komprehensif dan kondusif antar pemangku kepentingan. Di antaranya dengan asosiasi terkait dalam membentuk Gerakan Nasional Sejuta Listrik Surya Atap yang dirilis pada Oktober 2017. Upaya lain dari pemerintah adalah menyusun regulasi sistem PLTS atap yang saat ini masih terus digarap.

Tidak hanya asosiasi, Abdi turut mengajak perbankan untuk berkontribusi dalam pengembangan PLTS. "Termasuk untuk memahami potensi pasar yang ada dan mampu mendiskusikan potensi pembiayaan komersial yang diinginkan masyarakat," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Energy Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi pasar listrik surya yang besar. Dengan potensi yang ada, Indonesia dapat mencapai target bauran energi terbarukan 23 persen atau 45 GW pada 2025 dengan 6,4 GW berasal dari pembangkit surya.

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement