REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Pemerintah Indonesia menyiapkan skema asuransi risiko bencana. Ini mengingat Indonesia salah satu negara dengan ancaman bencana tertinggi di dunia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mencontohkan total kerugian akibat bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2004-2013 mencapai Rp 126,7 triliun atau sekitar 8,4 miliar dolar AS. Rata-rata kerugian yang diderita dari sisi ekonomi adalah Rp 22,8 triliun atau 1,5 miliar dolar AS.
Tsunami Aceh (2004) dari sisi sejarah mencatat kerugian tertinggi, hingga Rp 53,1 triliun. Sri Mulyani membandingkan dana cadangan yang disiapkan pemerintah selama 12 tahun terakhir rata-rata Rp 3,1 triliun.
"Ini dana cadangan untuk semua hal. Desain pembiayaan kita masih belum memadai dan kita belum punya mekanisme canggih menghadapi hal tersebut," katanya dalam High Level Dialogue on Disaster Risk Financing and Insurance in Indonesia di Nusa Dua, Rabu (10/10).
Dana cadangan yang belum memadai, kata Sri Mulyani menghambat kemampuan pemerintah menangani tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pascabencana. Oleh sebabnya pemerintah perlu mulai menyiapkan desain pembiayaan dan asuransi bencana dengan menggandeng Bank Dunia, mitra pembangunan, dan industri di tatanan nasional dan global.
"Untuk hal ini, kita perlu bekerja lebih cepat," katanya.
Kementerian Keuangan mulai 2019 secara bertahap akan memberikan penanggungan asuransi untuk sebagian gedung pemerintah. Hal ini telah didiskusikan sebelumnya dengan DPR dan pelaku industri Tanah Air.
Sri Mulyani mencontohkan gempa dan tsunami Palu yang menghancurkan seluruh gedung kantor wilayah Kementerian Keuangan. Dengan adanya asuransi risiko bencana, keuangan pemerintah atau APBN lebih terlindungi.
"Kami juga bisa mengelola belanja pemerintah supaya tetap memadai, sehingga kerugian ekonomi bisa ditekan," katanya.
Kementerian Keuangan berencana belajar dari pemerintah Kolombo, Peru, Meksiko, Chile, dan Filipina yang telah memiliki skema asuransi risiko bencana. Implementasinya membuat kegiatan ekonomi pascabencana berjalan cepat, khususnya dari sisi perumahan dan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Mochamad Basuki Hadimuljono mengatakan pembiayaan dan investasi risiko bencana sudah diakui internasional. Sayangnya 90 persen bantuan internasional untuk bencana selama ini hanya terfokus pada tanggap darurat (emergency response).
"Hanya 10 persen untuk pencegahan bencana dan kesiapan respon bencana," kata Basuki.
Oleh sebabnya Basuki mengajak pihak terkait, khususnya negara-negara anggota Bank Dunia untuk memperbesar porsi pencegahan bencana dan kesiapan respon bencana. Pemerintah Indonesia ke depannya juga akan fokus pada pembiayaan untuk meminimlisir risiko bencana.
Bank Dunia mendata gempa bumi di Indonesia berpotensi menghilangkan pendapatan domestik bruto (PDB) hingga tiga persen. Ini tidak seimbang dengan kemampuan pemerintah yang terbatas menyediakan dana bencana.