Selasa 09 Oct 2018 04:07 WIB

Keteguhan Ferdy yang Bangkit Usai Tertabrak Kereta

Tugas utama RISE adalah memulihkan kepercayaan diri para difabel.

Rep: Teguh Firmansyah/ Red: Nur Aini
Ferdy Syamsuddin memberikan pelatihan memperbaki telepon genggam ke penyandang disabilitas yang lain.
Foto: Teguh Firmansyah/Republika
Ferdy Syamsuddin memberikan pelatihan memperbaki telepon genggam ke penyandang disabilitas yang lain.

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG -- Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 pagi. Ferdy Syamsuddin beristirahat sejenak di atas rel kereta di dekat Pasar Kemiri, Depok. Saking lelahnya, Ferdy yang bekerja dengan bos penjual ikan tertidur dengan posisi duduk.

Dia tak terlalu khawatir, karena tidak ada kereta yang melintas di jam-jam tersebut. Namun takdir menyatakan lain. Satu unit kereta patroli melintas tanpa disadari.

Ferdy kaget, ia tak bisa menghindar. Kakinya pun terlindas oleh kereta patroli itu. "Saya kaget kaki saya masuk ke dalam rel," ujarnya ketika ditemui Republika.co.id di rumahnya, di  Jalan Tinggar-Nyapah, Cipete, Curug, Kota Serang, Banten, beberapa waktu lalu.  

Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan. Dokter memvonis untuk segera mengamputasi kakinya. Ferdy pun pasrah. Pihak keluarga memilih memindahkan ia ke RSUD di Serang dan dilakukan operasi di sana. "Sebulan saya berada di rumah sakit," tutur Ferdy.

Kejadian itu terjadi pada 11 tahun silam, tepatnya pada 2007 bulan kelima. Hingga kini, ia tak akan pernah melupakan peristiwa yang mengubah jalan hidupnya tersebut. Apalagi, saat itu, Ferdy baru saja lima bulan menikah. "Pada 2007 itu saya benar-benar terpuruk," ceritanya sambil sesekali menyesapi kopi hitam yang dibuatkan sang istri.

Tapi Ferdy tak mau lama-lama bersedih. Meski saat ini berkursi roda, ia sadar harus mencari nafkah untuk membiayai keluarga kecilnya. Ayah satu orang anak ini mencoba buka warung di rumahnya di Serang. Ketika membuka warung, Ferdy menghadapi pasang dan surut. Namun karena lebih banyak surutnya warung itu pun tutup.

Ia terus memutar otak. Berbekal dari hobinya mengutak-atik handphone, perlahan mantan pedagang asongan itu pun mencoba bangkit. Pada 2009, Ferdy mulai menerima jasa service telepon genggam dari teman-temannya. "Saya waktu itu tak punya modal sama sekali, saya bahkan pinjam obeng dari tetangga," kenangnya.

Cerita Ferdy bisa membetulkan handphone, mulai tersebar. Satu per satu pelanggan mulai mendatanginya. Pada 2010, ia mulai mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dari sini Ferdy, mendapatkan sejumlah peralatan untuk men-service telepon genggam. Pada 2011, ia memperoleh hibah komputer.  

Bendahara Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Serang ini tak ingin cepat puas. Dia ingin terus mengembangkan ilmu pengetahuannya. Pada September 2017 lalu, undangan datang ke Ferdy. Ia diundang untuk mengikuti pelatihan Reach Independence & Sustainable Entrepreneurship (RISE) di Sindang Jaya Kabupaten Tangerang.

RISE merupakan progam pembinaan dari Bank Maybank yang sudah berlangsung sejak 2016. Salah tujuan dari program ini adalah meningkatkan kemampuan bagi para penyandang disabilitas dalam membangun dan mengembangkan usaha mikronya. Pelatihan digelar selama tiga hari.

Usai pelatihan, peserta juga akan mendapatkan pembinaan secara terstruktur selama tiga sampai enam bulan ke depan. Dalam masa mentoring, para peserta akan didampingi mentor secara personal guna mendongkrak pendapatan dan kapasitas usaha. "Banyak ilmu yang terima dari pelatihan tersebut," tutur Ferdy.

Ia mengaku memperoleh dasar soal pengelolaan keuangan maupun pemasaran. "RISE ini meminta kita agar disiplin dalam mengelola keuangan, semua harus detil dicatat pengeluaran dan pemasukan," katanya menambahkan.

Pencatatan ini penting agar pengembangan usaha dapat dipantau, berapa keuntungan atau kerugian. Apa saja yang harus diperbaiki sehingga usaha dapat berjalan maju.  

Selain itu, salah satu ilmu yang ia terus praktikan saat ini adalah bagaimana menjaga konsumen agar terus terpuaskan. Kepuasan pelanggan, kata Ferdy, adalah nomor satu dalam usaha di bidang jasa. Jika service baik, maka orang itu akan balik lagi. "Saya terapkan ini dari pelanggan di Dinas Sosial hingga di pondok pesantren dekat rumah," katanya melanjutkan.

Tak berhenti di sini, ia juga mencoba mengembangkan strategi lain. Misal menggratiskan service ke pelanggan baru, tapi dengan catatan pelanggan itu mempromosikan ke teman-temannya yang lain.  "Ini saya berlakukan di SMK 4 awalnya gratis, dan setelah itu teman-temannya pada datang ke saya," kata pria yang kini sudah berpenghasilan Rp 6 sampai Rp 7 juta per bulan tersebut.

Ia mengungkapkan, pihak dari RISE sampai saat ini terus memonitoring usaha service telepon selulernya. Instruktur RISE menanyakan secara detil, perkembangan usaha, termasuk dari sisi pemasukan. Dan itu, memotivasi ia untuk terus berkembang, baik dari sisi kemampuan maupun profit.

"Pak Wahyu itu biasa yang menghubungi saya, lewat Whatsapp atau telepon, dia menanyakan detil soal usaha saya," tuturnya. "Pak Wahyu ini pernah bilang ke nanya ke saya, soal ajakan mengikuti pelatihan ke Malaysia, saya pun mengiyakannya," kata Ferdy sambil tersenyum. 

Ferdy pun tak segan berbagi ilmu dengan para penyandang disabilitas lain. Saat ditemui Republika.co.id, Ferdy sedang mengisi pelatihan service telepon genggam untuk perangkat lunak maupun keras.

Di ruangan yang hanya berukuran sekitar 2X3 meter, ia mengajar teknik memperbaiki handphone. Ferdy tak hanya mengajar teori, tapi juga praktik langsung. Sejumlah alat seperti solder, alat pengukur tegangan dan telepon genggam yang rusak tersedia di atas meja kecil.  

Dalam situs laman Maybank, Ferdy pernah mengungkapkan rencana membangun ruangan ini. Cita-citanya pun tercapai. Ruangan ini baru saja selesai dibangun sebulan lalu dan dibuat khusus untuk tempat berkumpul para penyandang difabel. "Baru sebulan kemarin selesai," katanya.

Ada lima peserta yang hadir dalam kegiatan itu. Salah satunya adalah Ahmad Kadis. Ia berprofesi sebagai seorang penjahit di Kampung Sait Muncang. Kadis sengaja mengikuti pelatihan service telepon genggam ini untuk menambah keterampilannya.

"Saya ingin memperluas usaha tak hanya menjahit tapi juga telepon genggam. Di kampung saya belum ada yang bisa. Ini peluang," tutur bapak empat orang anak ini.  

Sama dengan Ferdy, Kadis pun mengikuti program RISE yang digelar oleh Maybank. Kadis mengaku salah satu ilmu yang ia dapat adalah soal pengelolaan keuangan. Bagaimana mencatat pendapatan dan pengeluaran.  

"Waktu pelatihan kita dikasih secarik kertas diminta untuk menulis dengan detil soal pemasukan dan pengeluaran ini. Jangan sampai ada satu rupiah pun yang terlewat," katanya.

Kadis sekarang menerapkan ilmu itu pada usahanya. Ia dibantu oleh anak pertamanya buat mengerjakan pesanan-pesanan dari dalam maupun luar kota. Salah satu pesanan yang kerap ia garap adalah dari Tangerang.  

Kepercayaan diri

Kepala CSR Maybank Juvensius Judy Ramdojo mengungkapkan, tujuan RISE adalah memulihkan kepercayaan diri dari penyandang difabel. Karena itu, program ini sengaja tak memberikan langsung akses modal. "Yang penting dan paling utama adalah mengubah mindset mengembalikan kepercayaan diri mereka," ujarnya kepada Republika.co.id. 

Judy mengungkapkan, pada 2019, Maybank berencana untuk mengadakan pelatihan lanjutan. Peserta RISE yang berjumlah 2.200 orang akan diseleksi menjadi hanya sekitar 10 hingga 20 persennya saja. "Nanti mereka akan mewakili dari masing-masing daerah," tuturnya.   

Judy mengaku salah satu keterbatasan kalangan disabilitas adalah soal license. Seperti di Solo, mereka memiliki produk yang bagus, tapi karena tak punya license, pemasarannya jadi kurang optimal. Hal yang sama juga terjadi di Yogya, ada peserta yang pintar menggambar arsitektur, namun karena licence ia hanya menjadi sekadar tukang gambar. "Kita akan menggelar pelatihan lanjutan untuk meningkatkan kapasitas peserta. Kita juga akan berikan bantuan modal, tapi sifatnya investasi," ujarnya.  

Judy mengungkapkan, salah satu parameter keberhasilan program ini adalah dari sisi penghasilan. Diharapkan pendapatan peserta meningkat usai mengikuti pelatihan. Selain itu, kepercayaan diri mereka pulih sehingga bisa membantu kawan lainnya yang bernasib serupa. "Para peserta bisa menjadi role model bagi para penyandang disabilitas lainnya," ujarnya.

Harapan Judy sama seperti yang keinginan Ferdy Syamsuddin. Sebelum mengakhiri wawancara dengan Republika.co.id, Ferdy berpesan kepada para difabel agar mandiri. Penyandang disabilitas tak boleh berputus asa, dan harus gigih supaya tidak menggantungkan diri dengan orang lain.  "Jangan pernah bergantung dengan orang lain, kita harus mandiri," pesan Ferdy.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement