REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian terus berupaya mengembangkan lahan rawa pasang surut. Penerapan bioindustri padi terpadu diyakini dapat meningkatkan pemanfaatan lahan suboptimal tersebut dengan memperbaiki kondisi pertanian dan pangan di Indonesia.
"Akselerasi produksi saja tidak cukup. Hasil produksi perlu ditangani secara maksimal termasuk biomasanya. Pertanian bioindustri bisa dijadikan sebagai alternatif solusi bagi ketersediaan pangan secara berkelanjutan,” kata Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pacapanen) Risfaheri dalam keterangan pers, Ahad (7/10).
Menurut Risfaheri, bioindustri padi memungkinkan rendemen dan kualitas beras giling yang dihasilkan berkualitas tinggi, disertai dengan produk samping yang juga bergizi dan bernilai ekonomi tinggi.
"Petani tidak hanya mendapat keuntungan dari penjualan beras, namun juga nilai tambah dari proses penggilingan padi dan berbagai proses pengolahan hasil samping padi tersebut,” ujar Risfaheri
Sebagai langkah awal, pada 4 Oktober lalu, BB-Pascapanen resmi menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Banyuasin untuk melaksanakan pilot project Model Pengembangan Bioindustri Padi Terpadu di lahan rawa pasang surut. Pengembangan dilakukan di lahan seluas 1.800 hektare di Desa Telang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Pilot project ini juga turut melibatkan PT Cimoni sebagai perusahaan lokal yang memproduksi mesin penggilingan padi.
Dukungan teknologi dari Balai Besar Litbang Pascapanen untuk pilot project ini terdiri dari satu set konfigurasi Auto-Pneumatic System Rice Milling Unit (AP-RMU) berkapasitas 1,5 ton/jam, dua unit mesin pengering gabah berbahan bakar pemanas sekam masing-masing berkapasitas 6 ton/muat, satu set proses produksi Pupuk Biosilika Cair; satu set proses produksi asap cair dari pembakaran sekam; dan satu set proses pengolahan bekatul.
Pangan dan Energi Berkelanjutan
Risfaheri mengatakan, ketersediaan pangan dan energi secara berkelanjutan merupakan tantangan terbesar di dunia saat ini. Era ekonomi berbasis bahan fosil dipercaya akan bertransformasi menjadi era bioekonomi yang mampu menghasilkan biomassa sebesar-besarnya untuk diolah menjadi pangan, pakan, energi, serat alami, serta beragam bioproduk lain secara berkelanjutan. Salah satu potensi yang dimiliki dan terus dikembangkan pada skala lapang adalah dengan menciptakan bioindustri padi berdaya saing tinggi.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin, Syamsul Basri yang turut hadir dalam peresmian pilot project tersebut menjelaskan, proyek bioindustri padi ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi yang meminta petani tidak menjual produksi padinya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). “Padi diolah menjadi beras, supaya ada nilai tambahnya,” kata Syamsul.
Syamsul menjelaskan,saat meresmikan penggilingan padi di Mesuji, Lampung, 21 Januari lalu, Presiden Jokowi menghendaki nilai tambah itu ada di pihak petani yang sudah dengan susah payah memproduksi pangan. Presiden menyebutkan keuntungan yang didapatkan petani akan lebih besar jika produk padi tidak dalam bentuk gabah kering panen (GKP), namun dijual setelah minimal dikeringkan dalam bentuk gabah kering giling (GKG), bahkan bila memungkinkan diolah menjadi beras.
Sementara itu, Pengurus BUMDes Telang Mandiri Sejahtera Hendrik Kuswoyo menuturkan, nilai tambah yang akan didapat petani dari bioindustri tidak hanya dari penjualan beras melalui peningkatan rendemen giling dan kualitas beras, namun justru dari olahan hasil samping dari penggilingan padi.
Hendrik misalnya, sekam dapat digunakan sebagai energi pemanas pengeringan gabah. Sementara abu sekamnya, dapat diolah menjadi Pupuk Biosilika Cair yang digunakan sebagai pupuk mikro tanaman padi. Bahkan silika dari abu sekam dibutuhkan oleh industri berbasis karet. Asap pembakaran sekam juga dapat ditangkap menjadi asap cair yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan maupun sebagai biopestisida.
"Selain itu saat ini bekatul juga sedang meningkat kebutuhannya karena bisa diolah menjadi aneka olahan produk pangan sehat berserat tinggi, seperti kukis dan geplak bekatul, susu bekatul, sereal dan susu bekatul, rerotian, minyak bekatul, serta masih banyak lagi,” tambah Hendrik.
Pada prinsipnya, konsep pertanian bioindustri berkelanjutan memandang lahan tidak hanya sebagai sumber daya alam, melainkan juga sebagai industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi dengan prinsip minimum eksternal input dan memaksimalkan internal input.
Perekayasa Madya BB-Pascapenen Rudy Tjahjohutomo menjelaskan, dalam model bioindustri berbasis padi, petani maupun pengusaha penggilingan tidak hanya diarahkan untuk mengutamakan hasil beras giling saja, namun juga bagaimana mengolah hasil samping dari penggilingan padi, seperti dedak/bekatul, beras patah, menir hingga limbah sekam menjadi produk bernilai jual tinggi.
“Teknologi terkait pengolahan hasil inipun sudah tersedia khususnya di Balitbangtan, Kementerian Pertanian yang bisa diaplikasikan, baik secara industri maupun oleh kelembagaan petani,” ungkap Rudy.
Selain peresmian Bioindustri Padi Terpadu, BB-Pasca Panen juga sudah sudah melakukan tanam padi perdana musim tanam Oktober 2018 hingga Maret 2019, serta menyelenggarakan Bimbingan Teknis Proses Produksi Pupuk Biosilika Cair dan Bimbingan Teknis Olahan Bekatul Menjadi Pangan bagi Tim Penggerak PKK dan Keluarga Tani Desa Telang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Bimtek diharapkan dapat membuat petani untuk lebih memahami hasil samping dari sekam dan bekatul yang selama ini dinilai kurang berguna.