REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, belanja online menjadi salah satu pilihan karena kemudahannya. Cukup pilih barang yang akan dibeli melalui online dan transfer uang maka pembeli akan menerima barang pesanan tersebut. Sebenarnya, bagaimana ketentuan fikih terkait belanja online?
Ryan - Surabaya
Jawaban:
Waalaikumussalam wr wb.
Jual beli online itu dibolehkan dengan ketentuan barang yang dibeli halal dan jelas spesifikasinya, barang memang dibutuhkan (tidak ada unsur tabdzir), ada hak pembeli untuk membatalkan atau melanjutkan (menerima) jika barang diterima tidak sesuai pesanan, serta sesuai dengan skema jual beli.
Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap standar syariah Internasional AAOIFI, fatwa DSN MUI terkait dengan jual beli dan ijarah, serta kaidah-kaidah fikih muamalah terkait.
Di antara rambu-rambu fikih terkait belanja online adalah sebagai berikut. Pertama, apa yang dibeli? Barang yang dibeli harus memenuhi kriteria:
a. Barang/jasa yang halal. Oleh karena itu, tidak diperkenankan berbelanja barang yang haram baik karena fisiknya seperti minuman memabukkan maupun nonfisiknya, seperti mainan yang merusak moral anak-anak.
b. Barang/jasa yang diprioritaskan untuk dimiliki. Tidak membeli yang tidak dibutuhkan atau tersier agar tidak mengakibatkan pemubaziran yang dilarang. Sesuai firman Allah Swt; "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan..." (QS Al-Isra' : 27).
c. Barang yang dibeli harus jelas kriteria dan spesifikasinya seperti gambar, harga dan ukurannya seperti proses yang terjadi di lapak online karena tidak berwujud atau tidak terlihat saat transaksi pembelian agar terhindar dari ketidakjelasan atau gharar.
d. Pembeli diberikan hak (khiyar) untuk membatalkan jual beli atau menerima dengan kerelaan apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan pesanan.
Kedua, bagaimana cara membelinya? Transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, baik jual beli tunai maupun tidak tunai (barang diserahkan secara tunai, sedangkan harga diterima oleh penjual secara tidak tunai) itu dibolehkan. Hal ini berdasarkan hasil keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fikih Organisasi Kerja sama Islam/OKI) No. 51 (2/6) 1990 yang membolehkan jual beli tidak tunai dan Fatwa DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Berdasarkan skema jual beli antara pemilik produk dan pembeli melalui marketplace, penjual berhak mendapatkan margin atas produk yang dijualnya sesuai kesepakatan. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw, "dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (HR Tirmidzi).
Ketiga, diprioritaskan berbelanja pada tempat berbelanja/lapak yang bisa memberikan kontribusi terhadap penguatan ekonomi masyarakat dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Keempat, berbelanja diniatkan beribadah kepada Allah Swt. Sehingga, setiap berbelanja itu untuk keperluan ibadah kepada Allah Swt, seperti membeli mainan untuk anak-anak maka dipilih mainan yang kira-kira mendidik anak. Bukan sekedar bermain, apalagi merusak pendidikan anak-anak.
Jual beli melalui online seperti melalui lapak dan sejenisnya yang biasa dilakukan dalam jual beli online itu sah dengan ketentuan di atas yang merujuk pada pendapat ulama ahli fiqih yang membolehkan transaksi antara penjual dan pembeli yang berbeda tempat. Juga pendapat mayoritas ulama yang membolehkan transaksi atas barang inden atau ready stock, tetapi diserahterimakan/dikirim oleh penjual online kemudian, transaksi ini dikenal dengan al-Bai al-Maushuf Fi Dzimmah atau jual beli dengan objek jual yang inden atau tidak tunai, tetapi bisa diketahui spesifikasi dan karakteristiknya.
Juga keputusan standar internasional AAOIFI yang memperkenankan ijab kabul dan serah terima melalui online apabila tradisi pasar dan otoritas mengakui hal tersebut. Semoga Allah memudahkan dan memberkahi setiap ikhtiar kita. Wallahu a’lam.