Jumat 05 Oct 2018 14:00 WIB

Penghapusan PPN 10 Persen untuk KA Logistik Belum Cukup

Pengiriman menggunakan KA logistik masih lebih mahal hingga 50 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (kiri) didampingi Direktur KAI Edi Sukmoro (kedua kiri) serta Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik dan Perhubungan BUMN Dwijanti Tjahjaningsih (ketiga kiri) meresmikan angkutan kereta api kontainer di Terminal Petikemas S
Foto: Antara/Zabur Karuru
Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (kiri) didampingi Direktur KAI Edi Sukmoro (kedua kiri) serta Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik dan Perhubungan BUMN Dwijanti Tjahjaningsih (ketiga kiri) meresmikan angkutan kereta api kontainer di Terminal Petikemas S

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan menyambut baik rencana Kementerian Perhubungan untuk menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen untuk angkutan logistik dengan kereta api. Namun, kebijakan ini dinilai belum mampu mengatasi permasalahan utama, yakni biaya logistik dengan kereta api yang lebih mahal dibandingkan angkutan darat seperti truk.

Yukki menjelaskan, saat ini, penggunaan kereta api untuk mengirimkan logistik masih lebih mahal 30-50 persen dibanding dengan truk. Perbedaan harga ini berlaku untuk jarak pendek, yakni di bawah 250 kilometer. 

"Kalau diringankan dengan mengurangi PPN 10 persen, saya rasa belum bisa sebanding. Kereta api masih lebih mahal," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/10).

Menurut Yukki, harga pengiriman logistik menggunakan kereta api pascapenghapusan PPN 10 persen baru bisa setara dengan truk apabila untuk jarak jauh (di atas 250 kilometer). Akan tetapi, pengusaha logistik terbilang jarang mengirimkan barang dalam jarak tersebut.

Yukki menjelaskan, kekurangan lain dari pengiriman logistik dengan kereta api adalah fasilitas antar sampai ke tempat tujuan. Berbeda dengan truk yang langsung mengirimkan barang hingga ke lokasi pengiriman, kereta membutuhkan moda pengantar tambahan. Dampaknya, biaya pengiriman otomatis akan bertambah.

Beberapa kali, pengguna jasa kereta api logistik juga harus mengantri satu sampai dua hari sebelum barangnya diantarkan. Kondisi ini membuat waktu distribusi semakin lama dan tidak efisien dari segi biaya.

Selain itu, fasilitas gudang juga masih belum tersedia di stasiun kereta api tujuan. Jika ingin menyimpan logistik untuk dikirim keesokan hari, pengusaha harus mengirimkannya ke gudang terdekat. "Kalau ada gudang di depo pasti bisa lebih efisien," ucap Yukki.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, Yukki menganjurkan agar PT Kereta Api Indonesia (KAI) segera membuka diri dengan para pihak lain. Baik itu untuk membangun gudang di lahan yang tersedia di depo atau bermitra dengan jasa kurir untuk membantu pengusaha dalam mengefisienkan biaya pengiriman sampai ke tujuan. Apabila memaksa bekerja sendiri, hasilnya tidak akan maksimal.

Terlepas dari hambatan yang ada, Yukki menjelaskan, pengusaha logistik akan mengapresiasi upaya Kemenhub untuk menggunakan multimoda ini. Apalagi, rencana penghilangan PPN 10 persen ditujukan untuk meningkatkan efektivtias aturan pembatasan kendaraan dengan muatan berlebih atau over dimensi dan overload (ODOL).

Sebelumnya, Kemenhub menyaranan penghapusan PPN 10 persen yang dikenakan angkutan logistik dengan kereta api. Penghapusan ini bertujuan agar pelaku usaha beralih dari angkutan jalan ke kereta api terkait over dimensi dan overload (ODOL). Pengusulan ini akan diajukan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Baca juga, Angkutan Barang dengan KA Kurang Efektif

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement