Kamis 04 Oct 2018 15:01 WIB

Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi Positif

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi positif, didorong investasi dan konsumsi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Elba Damhuri
Personel TNI berfoto dengan latar belakang logo bendera berbagai negara di sekitar kawasan yang akan menjadi tempat berlangsungnya pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Senin (1/10).
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Personel TNI berfoto dengan latar belakang logo bendera berbagai negara di sekitar kawasan yang akan menjadi tempat berlangsungnya pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Senin (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Bank Dunia menilai prospek pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik tetap positif. Hal itu meski lingkungan eksternal kurang menguntungkan.

Menurut laporan "World Bank East Asia dan Pacific Economic Update" edisi Oktober 2018 yang baru diterbitkan Kamis (4/10), pertumbuhan negara-negara berkembang tersebut diperkirakan menjadi 6,3 persen pada 2018. Angka itu lebih rendah dari tahun lalu.

Bank Dunia menyatakan penurunan tersebut disebabkan oleh moderasi yang terus berlanjut dalam pertumbuhan ekonomi Cina. Pasalnya, perekonomian di Negeri Tirai Bambu ini tengah berada dalam proses penyeimbangan.

Cina memasuki era ekonomi baru dengan pertumbuhan lebih rendah dibandingkan satu dasawarsa lalu. Faktor pendorong ekonomi pun digeser dari yang tadinya berorientasi ekspor, kini mendorong konsumsi dalam negeri.

Laporan berjudul 'Navigating Uncertainty' itu menegaskan, dalam beberapa bulan terakhir berbagai faktor gabungan seperti ketegangan perdagangan, tingginya suku bunga Amerika Serikat (AS), menguatnya nilai kurs dolar AS, serta gejolak pasar uang di banyak negara berkembang telah banyak menambah ketidakpastian prospek pertumbuhan kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Pada saat sama, inflasi pun mulai naik di seluruh kawasan khususnya di Myanmar, Filipina, serta Vietnam. "Pertumbuhan kuat telah dan akan terus menjadi kunci untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan di kawasan ini," ujar Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Victoria Kwakwa, Kamis, (4/10).

Ia menambahkan, proteksionisme di pasar keuangan bisa merusak prospek pertumbuhan jangka menengah dengan konsekuensi dampak yang merugikan penduduk paling miskin dan rentan.

Maka, jelas Kwakwa, sekarang adalah waktunya untuk pembuat kebijakan di seluruh wilayah supaya tetap waspada. Lalu secara proaktif meningkatkan kesiapan serta ketahanan negara mereka.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan Cina bakal melambat menjadi 6,5 persen pada 2018. Hal itu setelah pada 2017, tumbuh lebih cepat dari perkiraan.

Kemudian, pertumbuhan negara-negara berkembang kawasan selain Cina, diperkirakan bakal tetap stabil pada 5,3 persen dari tahun ini hingga 2020. Pendorongnya yakni permintaan domestik.

Di Thailand dan Vietnam, pertumbuhan diperkirakan kuat pada 2018 hanya saja akan melambat pada 2019 dan 2020. "Ini terjadi karena permintaan domestik yang lebih kuat hanya bisa mengimbangi sebagian moderasi pertumbuhan net ekspor," kata Kwakwa.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Bank Dunia, seharusnya tetap stabil. Itu berkat proyeksi naiknya investasi dan konsumsi swasta.

Selanjutnya di Filipina, kemungkinan tahun ini melambat. Meski begitu, penambahan investasi publik diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dalam jangka menengah.

Lebih lanjut, Bank Dunia justru memprediksi, pertumbuhan ekonomi di Malaysia bakal menurun karena pertumbuhan ekspornya melambat juga investasi publik lebih rendah, menyusul pembatalan dua proyek infrastruktur besar.

Untuk ekonomi di negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang lebih kecil, prospek pertumbuhan diprediksi tetap kuat. Kawasan ini rata-rata tumbuh lebih dari enam persen setiap tahun di Kamboja, Laos, Mongolia, serta Myanmar pada 2018 dan 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement