Senin 01 Oct 2018 16:56 WIB

Jadi Kiblat Fashion Muslim, Ini yang Harus Diperhatikan

Target pertumbuhan industri pakaian jadi 9,5 persen dan nilai ekspor 9 miliar AS.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Fashion Muslim
Foto: Prayogi/Republika
Fashion Muslim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi desainer nasional, Indonesia Fashion Chamber (IFC), menilai ada beberapa poin yang harus dikejar Indonesia sebelum resmi mencanangkan diri sebagai kiblat fashion Muslim dunia pada 2020. Di antaranya, kemitraan antara perancang busana dengan perajin untuk menghasilkan produk berkualitas yang berskala global.

Ketua IFC Ali Charisma menuturkan, selama ini masih ada kondisi yang belum merata antara perajin dengan perancang busana. Memajukan industri kecil dan menengah (IKM) harus diiringi dengan mendukung desainer. "Kalau kita berbicara fashion show di Milan dan Paris, yang kita tonjolkan bukan perajin, tapi desainer yang membuat baju dengan bahan baku dari perajin. Perlu sebuah kerja sama untuk ini," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (1/10).

Menurut Ali, tidak semua desainer memiliki tingkat kesiapan dan kemapanan yang sama. Khususnya dari segi keuangan yang merupakan salah satu modal dasar dalam menghasilkan produk. Kekurangan ini dipersiapkan dan dibantu oleh pihak lain, baik pemerintah maupun swasta.

Poin berikutnya adalah regulasi, termasuk dari segi impor, ekspor dan promosi agar masyarakat internasional tertarik datang ke Indonesia. Tapi, yang harus diperhatikan, Indonesia tidak boleh dimanfaatkan sebagai target pasar semata. "Pemerintah harus mendorong agar orang luar negeri datang ke sini nggak hanya untuk memasarkan produk, tapi belanja produk di sini juga," ujar Ali.

Dari segi persaingan, Ali menunjuk Thailand sebagai negara yang patut diperhitungkan. Industri fashion Muslim di Negara Gajah Putih ini sudah merambah masuk ke kalangan menengah ke bawah Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, produk mereka bisa bergerilya ke pasar atas.

Ali mengatakan, Thailand unggul dalam hal efisiensi tenaga kerja, di samping bahan baku yang minim impor. Sumber daya manusia mereka yang terbatas dapat melakukan berbagai pekerjaan sekaligus. Dampaknya, harga produk mereka lebih murah dibanding dengan Indonesia yang masih membutuhkan banyak tenaga kerja.

Tapi, bukan berarti Indonesia bisa pasrah. Ali menjelaskan, Indonesia harus bisa menonjolkan kelebihan yang tidak dimiliki negara lain seperti Thailand. Di antaranya, batik dan tenun. "Kita harus persiapkan bagaimana dua produk ini dapat diterima di pasar global," ujarnya.

Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan roadmap atau peta jalan dan rencana aksi untuk kembangkan industri fashion Muslim Indonesia. Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono menjelaskan, industri fashion adalah bagian dari roadmap pengembangan industri tekstil dan pakaian jadi nasional jangka pendek 2018-2019.

Target pertumbuhan industri pakaian jadi adalah 9,5 persen dan nilai ekspor 9 miliar dolar AS. Sementara itu, untuk jangka menengah 2020 sampai 2025, industri pakaian jadi ditargetkan tumbuh 10 persen dengan nilai ekspor 14,5 miliar dolar AS.

Untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, dilakukan sejumlah langkah yang tertuang dalam roadmap. Di antaranya, pengembangan branding nasional, peningkatan kapasitas dan jenis-jenis kain industri tekstil dalam negeri dengan menyesuaikan selera fashion. "Di dalamnya juga tertuang upaya meningkatkan kerjasama dengan para desainer nasional," ucap Sigit.

Poin lainnya adalah pelaksanaan business matching industri kain dan garmen nasional serta meningkatkan kompetensi SDM industri pakaian jadi melalui pendidikan vokasi. Membuka kerja sama dengan pasar utama ekspor, yakni Eropa dan Amerika Serikat sembari memperbanyak pameran dalam dan luar negeri turut tertuang dalam roadmap.

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement