Senin 01 Oct 2018 14:34 WIB

Thailand, Saingan Indonesia dalam Industri Fashion Muslim

Ketersediaan bahan baku Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia yang masih impor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Lomba fashion busana Muslim anak dalam acara Lombok Umrah dan Haji Expo 2018 di Islamic Center NTB, Senin (21/5).
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Lomba fashion busana Muslim anak dalam acara Lombok Umrah dan Haji Expo 2018 di Islamic Center NTB, Senin (21/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih menyebutkan, Thailand dan Cina masih menjadi saingan terbesar Indonesia dalam industri fashion Muslim. Sebab, keduanya memiliki ketersediaan bahan baku lebih tinggi dibanding dengan Indonesia yang masih harus impor.

Gati menjelaskan, kebutuhan Indonesia untuk impor tersebut menyebabkan harga tidak kompetitif. Dibanding dengan Thailand dan Cina, harga jual produk fashion Indonesia justru lebih tinggi. Tapi, terlepas dari itu, kualitas desain perancang busana muslim lokal masih baik. "Buktinya, desainer kita banyak yang berkiprah di luar negeri," tuturnya ketika ditemui usai pembukaan Indonesia Moslem Fashion Expo di Gedung Kemenperin, Jakarta, Senin (1/10).

Gati memberi contoh Dian Pelangi dan Itang Yunasz yang sedang menampilkan karya mereka di San Fransisco, Amerika. Akhir tahun, Indonesia Fashion Chamber (IFC) juga akan fashion show di Paris. Keterlibatan perancang lokal di panggung global ini menjadi bukti bahwa konsep fashion Muslim Indonesia sudah diterima pasar internasional.

Dengan potensi ini, Kemenperin berupaya mendorong pelaku fashion lokal untuk berkiprah ke luar negeri. Tidak hanya perancang busana papan atas, pelaku IKM juga akan dilibatkan. Menurut Gati, sebanyak 20 produk dari 10 IKM siap ditampilkan dalam peragaan busana di Paris bersama IFC.

Gati mengakui, tantangan terbesar industri fashion Muslim saat ini adalah ketersediaan bahan baku. Bahan baku yang dapat diproduksi dalam negeri hanya dua, yakni pulp untuk rayon dan polyester. Tapi, polyester sendiri kini terkena Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Untuk permasalahan ini, Kemenperin berupaya untuk membicarakan kembali dengan pihak terkait.

Selain Thailand dan Cina, Bangladesh juga tercatat sebagai saingan Indonesia dalam industri fashion Muslim, terutama dalam produk berbahan baku katun. Namun, menurut Gati, mereka hanya bertindak sebagai tukang jahit, sementara bahan baku banyak yang impor dari Cina. "Sama seperti Indonesia dulu. Bahan baku impor, kita kerjakan lalu ekspor seakan ekspor tinggi banget. Hanya placing order di sini," ujarnya.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, nilai ekspor Indonesia dalam industri fashion sampai Juli 2018 mencapai 8,2 miliar dolar AS dengan nilai pertumbuhan ekspor 8,7 persen. Dengan performa tersebut, produk fashion Indonesia mampu menguasai 1,9 persen pasar fashion dunia.

Airlangga menilai, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi kiblat fashion muslim di dunia pada 2020. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. "Indonesia juga merupakan satu dari lima besar negara anggota Organisasi Kerjasama negara Islam (OKI) sebagai pengekspor fashion Muslim terbesar di dunia setelah Bangladesh, Turki, Maroko dan Pakistan," ucapnya.

Airlangga menjelaskan, Kemenperin terus berupaya memberikan kemudahan usaha bagi pelaku IKM di industri fashion. Di antaranya berupa bantuan untuk mengakses permodalan dan promosi produk. Pemerintah juga akan terus mendorong kecintaan produk dalam negeri ke masyarakat luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement