Kamis 27 Sep 2018 17:26 WIB

Kurang Optimalnya Tata Niaga Pangan Dorong Inflasi DIY

Pasokan pangan didominasi pedagang, sehingga rentan terhadap spekulasi harga.

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Yusuf Assidiq
Rapat Koordinasi Daerah Tim Pemantau Inflasi Daerah DIY. Hingga Agustus 2018.
Foto: Neni Ridarineni.
Rapat Koordinasi Daerah Tim Pemantau Inflasi Daerah DIY. Hingga Agustus 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kondisi inflasi pangan di wilayah DIY yang cenderung meningkat pada 2018 dibandingkan tahun sebelumnya menjadi bahasan penting pada pelaksanaan Rapat Koordinasi Daerah Tim Pemantau Inflasi Daerah DIY. Hingga Agustus 2018, inflasi pangan DIY tercatat mencapai 5,83 persen (yoy).

Dari sebanyak 111 komoditas pangan di DIY, terdapat empat komoditas utama yang memiliki bobot dominan, antara lain beras, daging ayam, telur ayam, dan cabai merah.‘’Relatif tingginya inflasi pangan tersebut salah satunya disebabkan oleh kurang optimalnya tata niaga pangan,’’ kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY, Budi Hanoto, pada saat memberikan sambutan.

Pada Rakor TPID DIY2018 dengan tema 'Mendorong Kerja Sama Antardaerah dan Efektivitas Tata Niaga dalam Stabilisasi Inflasi Pangan DIY', di Grand Inna Malioboro Yogyakarta itu, Budi lantas memaparkan beberapa permasalahan tata niaga yang menjadi perhatian utama TPID DIY.

Yakni, pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap daerah lain, walaupun hasil pertanian DIY mengalami surplus, kedua, rantai tata niaga yang panjang dan dominasi middle man, serta ketiga, posisi tawar petani dan pedagang eceran yang relatif masih rendah.

Berbagai permasalahan tersebut, menurutnya, mengakibatkan pasokan pangan didominasi oleh para pedagang, sehingga rentan terhadap spekulasi harga dan praktik penimbunan stok. Selain itu, kondisi itu berpotensi menimbulkan terjadinya perdagangan yang tidak sehat, yang pada akhirnya berdampa kepada tinggi dan berfluktuatifnya harga pangan di tingkat konsumen.

Dengan pelaksanaan Rakorda 2018 ini, lanjutnya, diharapkan seluruh TPID di wilayah DIY (tingkat provinsi dan kabupaten/kota) mampu meningkatkan peran sertanya dalam menjaga stabilitas harga di DIY pada khususnya dan memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pengendalian inflasi nasional dalam rangka mencapai target inflasi 3,5 persen +/- 1 persen pada 2018 dan 2019.

Lebih lanjut Budi mengatakan beberapa alternatif solusi yang dapat dikembangkan oleh masing-masing TPID untuk memenuhi harapan tersebut. Antara lain, pertama, kerja sama antar daerah melalui pemetaan surplus defisit komoditas yang ada di DIY serta kerja sama dan peningkatan sinergi antardaerah untuk mengurangi defisit pasokan.

Dan kedua, efisiensi tata niaga pangan, melalui pemberdayaan koperasi dan peningkatan peran gapoktan, tata niaga komoditas pangan di sektor hulu, revitalisasi infrastruktur pertanian, optimalisasi produksi dan produtivitas, serta pemanfaatan teknologi informasi untuk penggunaan transaksi digital.

Sementara itu, peneliti dari regopantes.com Ardito Bhinadi sebagai salah satu pembicara menyampaikan kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga dapat dilakukan pada struktur pasar, perilaku pasar, kinerja pasar, dan pola distribusi barang.

Kerja sama antar daerah dan pembangunan sistem informasi yang saling terhubung juga perlu dilakukan. "Karena arus barang tidak hanya berputar di wilayah DIY saja, namun melewati antar daerah," jelasnya.

Di samping itu, Ardito menambahkan,  kerja sama lintas sektor juga perlu ditingkatkan mengingat harga pangan tidak hanya dipengaruhi oleh produksi, namun juga distribusi, infrastruktur, dan informasi.

Sementara itu, ujarnya, regopantes merupakan platform yang menghubungkan petani dan konsumen secara langsung dengan jaminan kualitas produk tenai dan harga yang pantas serta adil bagi kedua belah pihak.

"Regopantes memanfaatkan aplikasi teknologi informasi sehingga rantai alur hasil tani dari produsen (petani) kepada konsumen menjadi lebih pendek dan efisien," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement