Rabu 04 Dec 2024 08:52 WIB

Ekonom: Kenaikan PPN 12 Persen Bisa Dorong Inflasi Naik Jadi 3,12 Persen

Kenaikan ini akan berdampak langsung pada harga barang dan konsumsi masyarakat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede.
Foto: Republika/ Rahayu Subekti
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 dinilai berpotensi memperberat beban kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik. Dalam paparannya di diskusi 2025 Economic Outlook pada hari ini, Chief Economist Permata Bank Josua Pardede, memproyeksikan kenaikan PPN akan berdampak pada peningkatan inflasi dari sekitar 2 persen tahun ini menjadi 3,12 persen pada tahun depan.

Tak hanya kenaikan PPN, pemerintah juga berencana memperluas penerapan cukai pada produk seperti minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Hadirnya kebijakan ini dapat semakin menekan daya beli masyarakat.

Baca Juga

“Tahun ini inflasi relatif terkendali di bawah 2 persen, tetapi dengan kenaikan PPN, inflasi tahun depan diproyeksikan naik ke 3,12 persen. Kenaikan ini akan berdampak langsung pada harga barang dan konsumsi masyarakat,” ungkap Josua.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga menyoroti dampak besar kebijakan PPN terhadap kelas menengah. Ia menegaskan, daya beli kelompok ini belum sepenuhnya pulih sejak pandemi Covid-19, sehingga penundaan kenaikan PPN perlu dipertimbangkan.

“Kami mendukung wacana penundaan kenaikan PPN. Kelas menengah belum kembali ke kondisi stabil seperti sebelum pandemi. Jika kebijakan ini diterapkan, sebaiknya dilakukan secara bertahap, menunggu daya beli masyarakat benar-benar pulih,” ujar Faisal.

Faisal tak memungkiri kenaikan PPN memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, ia menekankan pentingnya alokasi dana tambahan dari PPN untuk mendukung sektor strategis yang mampu memperkuat perekonomian nasional.

“Jika penerimaan tambahan ini dikembalikan ke masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang inklusif, maka dampaknya bisa lebih positif. Tapi yang utama, pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak memperberat beban kelas menengah,” tegasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan signifikan dalam jumlah kelas menengah di Indonesia sejak pandemi. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.

Dengan posisi kelas menengah sebagai penopang utama konsumsi domestik, kenaikan PPN dikhawatirkan dapat memperlambat pemulihan ekonomi. Josua pun menekankan agar kebijakan fiskal pemerintah harus lebih sensitif terhadap situasi masyarakat.

“Kebijakan yang berfokus pada pemulihan daya beli kelas menengah akan menjadi kunci keberlanjutan ekonomi. Momentum ini tidak boleh hilang dengan kebijakan yang terlalu membebani masyarakat,” kata Josua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement