Kamis 20 Sep 2018 18:33 WIB

Bank Dunia: Penundaan Proyek tak Perbaiki Defisit

Potensi investasi bisa menjadi penguat basis fundamental ekonomi nasional.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Proses bongkar muat peti kemas  berlangsung di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/9). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan nasional periode Januari-Juli 2018 terjadi defisit  3,09 miliar dolar AS atau sekitar Rp46 triliun.
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Proses bongkar muat peti kemas berlangsung di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (13/9). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan nasional periode Januari-Juli 2018 terjadi defisit 3,09 miliar dolar AS atau sekitar Rp46 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menilai langkah pemerintah untuk menunda proyek yang membawa investasi dan melakukan pemotongan pajak atas impor tidak akan membawa dampak yang signifikan bagi perbaikian defisit neraca dalam waktu dekat. Hal itu malah akan menggerus investasi jangka panjang.

"Langkah-langkah untuk memberlakukan pemotongan pajak atas impor dan menunda investasi publik tidak akan memiliki dampak yang besar pada transaksi berjalan dalam waktu dekat ini," ujar Country Director of the World Bank Indonesia Rodrigo Chaves di Energy Building, Kamis (19/9).

Chief Economist World Bank, Frederico Gil Sander juga menilai salah satu langkah sebuah negara selamat dari krisis global adalah meningkatkan investasi. Sander menilai mestinya dengan potensi investasi yang dicanangkan pemerintah pada tahun lalu bisa menjadi penguat basis fundamental ekonomi Indonesia.

"Indonesia sudah punya basis ekonomi yang kuat dan menuntut adanya investasi yang lebih baik untuk mengekspor produk. Indonesia harus terus meningkatkan ambisi di perdagangan sehingga ekspor bisa lebih kompetitif," ujar Sander di lokasi yang sama.

Sektor keuangan yang dangkal dan tingkat ekspor dan investasi langsung asing yang relatif rendah menyiratkan tekanan dari arus keluar modal kemungkinan akan terus berlanjut. Padahal, sejumlah langkah kebijakan telah diambil untuk meningkatkan ketahanan terhadap gejolak pasar keuangan.

"Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar menjadi 2,4 persen dari PDB pada tahun 2018 dan stabil pada 2,3 persen di tahun 2019, karena arus keluar pendapatan utama yang lebih rendah diimbangi oleh nilai tukar perdagangan yang lebih lemah, permintaan investasi yang terus berlanjut untuk barang modal yang diimpor, dan menurunnya pertumbuhan para mitra dagang utama," ujar Sander.

Namun, baik Chaves maupun Sander menilai kondisi ekonomi global yang terjadi saat ini akibat perang dagang Amerika dan Cina tidak terlalu membuat Indonesia larut dan jatuh dalam krisis ekonomi. Meski terdampak dari sisi nilai tukar, keduanya sepakat bahwa penguatan fundamental ekonomi yang dilakukan pemerintah saat ini cukup membuat dampak krisis global tidak terlalu mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia.

"Kebijakan fiskal telah memperkuat kebijakan moneter dalam mengisyaratkan komitmen Pemerintah terhadap stabilitas ekonomi," ujar Chaves.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement