Kamis 20 Sep 2018 07:47 WIB

Dolar AS Melemah karena Kekhawatiran Perang Dagang Berkurang

Cina mengatakan tidak akan membalas kebijakan tarif AS dengan devaluasi mata uang

Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing. iluustrasi
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing. iluustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Kurs dolar AS melemah terhadap mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Rabu (19/9) atau Kamis (20/9) pagi WIB. Kurs dolar AS turun tipis terhadap euro dan jatuh ke level terendah hampir tiga minggu terhadap dolar Australia.

Euro diperdagangkan 0,14 persen lebih tinggi terhadap greenback. Dolar Australia diperdagangkan 0,69 persen lebih tinggi, tertinggi sejak 30 Agustus.

Pelemahan dolar AS ini karena kekhawatiran atas perang perdagangan antara Cina dan Amerika Serikat berkurang. Cina pada Selasa (18/9) memberlakukan tarif baru atas barang-barang AS senilai 60 miliar dolar AS, seperti yang direncanakan, tetapi menurunkan tingkat tarifnya.

Tarif baru Washington ditetapkan sebesar 10 persen untuk saat ini, sebelum naik menjadi 25 persen pada akhir 2018, bukan langsung 25 persen. "Reaksi pasar tampaknya menunjukkan bahwa pengumuman tarif secara keseluruhan pada sisi lemah dari ekspektasi pasar," kata Alvise Marino, ahli strategi valas Credit Suisse di New York.

Selera risiko (risk appetite) meningkat di seluruh pasar. Mata uang negara-negara berkembang menguat, dipimpin oleh rupee India setelah Cina mengatakan tidak akan membalas dengan devaluasi mata uang kompetitif.

Ketegangan-ketegangan terkait dengan perdagangan yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir, umumnya mendukung dolar AS terhadap mata uang yang dianggap berisiko. Meskipun suasana melemah pada Rabu (19/9), beberapa pelaku pasar masih melihat kekuatan untuk dolar.

"Ini adalah mata uang cadangan juara dan memiliki suku bunga Fed funds yang bebas risiko. Jadi, mata uang dengan risiko terendah menawarkan imbal hasil tertinggi di G10," kata Andreas Koenig kepala valas global di manajer aset Amundi.

"Selama kelainan ini bertahan, Anda tidak bisa secara strategis menjual dolar."

Para investor juga sedang menunggu pertemuan Federal Reserve minggu depan. Bank sentral AS diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya dan menjelaskan jalur untuk kenaikan suku bunga berikutnya.

Dolar AS diperdagangkan 0,15 persen lebih rendah terhadap yen. Gubernur Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) Haruhiko Kuroda menekankan bahwa ia tidak akan mencabut larangan pelonggaran moneter sampai inflasi mencapai target 2,0 persen, memperingatkan bahwa perselisihan perdagangan internasional yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan luas pada pertumbuhan global.

Dolar Kanada menguat ke level tertinggi dalam hampir tiga minggu terhadap mitranya AS, sebelum mengupas sebagian besar kenaikan menjelang pembicaraan lebih lanjut untuk merubah Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).

Para pedagang juga mengawasi berita terkait Brexit dari Salzburg, Austria, tempat Perdana Menteri Inggris Theresa May bertemu dengan para pemimpin Uni Eropa di KTT.

Poundsterling hampir datar terhadap dolar AS, setelah menghapus sebagian besar keuntungan awal, setelah The Times melaporkan bahwa May telah menolak tawaran perbaikan dari Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah perbatasan Irlandia.

Salah satu masalah paling sulit yang tersisa dalam negosiasi tersebut adalah bagaimana menghindari hard border yang mengganggu pasca-Brexit untuk Irlandia Utara yang bermasalah pada satu-satunya perbatasan darat Inggris dengan Uni Eropa.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement