REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, kegiatan ekspor Indonesia rendah karena melambatnya harga komoditas. Meski begitu, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, terdepresiasinya kurs rupiah sekarang bisa meningkatkan ekspor dalam negeri.
"Ekspornya kita masih punya kendala dari sisi manufaktur, meskipun dari depresiasi nilai tukar rupiahnya seharusnya bisa mendorong kompetitif dari sisi ekspor," katanya kepada wartawan di Jakarta, Senin, (17/9).
Dirinya menjelaskan, berbagai harga komoditi memang ada kecenderungan melambat di beberapa bulan terakhir. "Itu akan berpengaruh terhadap ekspor komoditi kita," tegasnya.
Lebih lanjut, Dody menjelaskan, defisit neraca perdagangan periode Agustus 2018 sebenarnya menunjukkan perbaikan dibandingkan Juli 2018. Hanya saja ekspektasi pasar melebihi itu.
Dirinya mengatakan, meski defisit, namun defisit neraca perdagangan Agustus 2018, yang 1,02 miliar dolar AS sebenarnya sudah menurun. Sebelumnya pada Juli 2018 sebesar 2,03 miliar dolar AS.
"Kita tentu lihat seperti tadi, butuh waktu karena tidak bisa langsung impor dipotong. Kita lihat prosesnya ada progres bagaimana defisit itu dari neraca perdagangan lebih kecil," jelasnya.
Menurutnya penurunan defisit neraca perdagangan Agustus 2018 ini bisa berlanjut dan akan memperbaiki defisit transaksi berjalan pada kuartal III tahun ini. Diharapkan, defisit perdagangan September 2018 diharapkan membaik signifikan karena penerapan bahan bakar biodiesel bercampur 20 persen minyak kelapa sawit (B20) yang akan menurunkan impor minyak dan di sisi lain meningkatkan nilai ekspor kelapa sawit seiring tingginya permintaan.
Bank Sentral memiliki kajian penerapan B20 di semua sektor akan menurunkan impor minyak mentah hingga 2,2 miliar dollar AS kurun September hingga Desember 2018. Selain itu B20 juga diharapkan menambah nilai ekspor sebesar empat hingga lima miliar dollar AS.
Dody melihat nilai ekspor juga akan didukung dari mulai menggeliatnya volume ekspor itu. Dia mengklaim seharusnya dunia usaha sudah memanfaatkan nilai rupiah yang melemah dalam beberapa waktu terakhir untuk meningkatkan nilai penjualan ekspor.
"Kita masih punya upaya agar ekspor lebih tumbuh, khususnya ekspor manufaktur. Seharusnya dengan dorongan rupiah yang sudah terdepresiasi bisa jadi faktor untuk lebih kompetitif dari sisi ekspor," ujar dia.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan pada Agustus 2018 defisit 1,02 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini dipengaruhi oleh perdagangan migas yang defisit 1,6 miliar dolar AS sementara nonmigas surplus 639 juta dolar AS.
Secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-Agustus 2018 tercatat defisit 4,09 miliar dolar AS. Hal ini disebabkan pada Januari, Februari, April, Mei, Juli, dan Agustus perdagangan defisit. Sedangkan surplus hanya terjadi di Maret dan Juni.