REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs forward rate diprediksi masih berada di kisaran Rp 15.300 per dolar AS. Hal ini berarti para pelaku pasar memperkirakan rupiah akan terus melemah. Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed untuk kembali menaikan suku bunga menjadi pemicu perhitungan.
"Ini bisa terwujud bisa tidak, tapi itu mencerminkan konsensus yang ada di kalangan para pelau pasar," kata dia pada Republika.co.id, Selasa (11/9).
Kurs forward dikenal juga sebagai unbias preditctor of spot rate. Drajad mengatakan hal ini berarti rupiah masih akan menghadapi tekanan menurut perspektif para pelaku usaha. Tekanan datang dari perekonomian global dan kelemahan perekonomian domestik.
"Memang betul ada faktor global, The Fed, emerging market, itu semua betul, tapi ini juga karena struktur ekonomi internal lemah, ini sudah terbukti" kata dia.
Saat ini, pelemahan rupiah sejak Januari sudah mencapai 10 persen. Sementara negara Asia lain hanya mengalami pelemahan dua sampai lima persen untuk mata uangnya. Dolar Singapura melemah dua persen terhadap dolar AS, Thailand empat persen dan terparah Laos dengan lima persen.
Baca juga, Menjaga Rupiah Agar Tetap Perkasa
Ini berarti memang ada faktor struktural yang membuat Indonesia rentan terhadap gejolak nilai tukar. Kondisi seperti sekarang sering terjadi tak hanya tahun ini. Sejak keluar dari krisis 1998, pelemahan rupiah terjadi beberapa kali.
"Sampai sekarang Indonesia masih menghadapi masalah yang sama, masalah neraca berjalan dan perdagangan," kata dia.
Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (10/9) sore bergerak melemah sebesar 37 poin ke Rp 14.850 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 14.813 per dolar AS. Pergerakan dolar AS lebih tinggi terhadap sejumlah mata uang dunia karena data kerja AS yang kuat.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, indeks upah AS rata-rata naik 0,4 persen pada tingkat bulanan di Agustus, di atas ekspektasi untuk kenaikan 0,3 persen. Sementara tingkat pengangguran bertahan di level 3,9 persen.
Ia menambahkan pelemahan mata uang dunia juga dipicu oleh kekhawatiran potensi meningkatnya tensi ketegangan dagang Amerika Serikat dan Cina. "Presiden AS Donald Trump memberikan peringatan untuk kembali menaikan tarif pada hampir semua impor Cina ke Amerika Serikat," katanya.