REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi menjelaskan, penjualan produk otomotif tidak akan berdampak dengan kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak penghasilan (PPh) terhadap mobil impor utuh (CBU) bermesin di atas 3.000 cc. Sebab, pasar untuk mobil mewah tersebut masih terbilang kecil di Indonesia.
Nangoi menuturkan, total penjualan per tahun mobil di atas 3.000 cc di Indonesia sekitar 0,1 persen. Faktor penyebab paling utama adalah pasar mobil mewah yang tersegementasi di kalangan atas.
"Dari 1,1 juta mobil yang terjual di setiap tahunnya, mungkin mobil mewah hanya 1.000 sampai 2.000 unit per tahun," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (7/9).
Selain itu, Nangoi menambahkan, peraturan pembatasan impor ini kemungkinan dilakukan dalam waktu sementara atau tidak selamanya. Tujuannya untuk mengatasi permasalahan rupiah yang mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Jadi, kalaupun berpengaruh terhadap penurunan tingkat penjualan, kondisi ini tidak bersifat permanen.
Nangoi memastikan, Gaikindo mendukung terhadap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai PPh impor. Terkait harapannya agar pemerintah memperluas kebijakan terhadap kendaraan bermotor lain dan komponen, Nangoi mengatakan, pihaknya tidak pernah mengharapkan ha tersebut.
"Yang pasti, kebijakan ini demi kebaikan. Kami dukung kebijakan-kebijakan itu," tuturnya.
Adapun, hasil tinjauan terhadap penyesuaian tarif PPh Pasal 22 untuk 1.147 barang konsumsi impor ini dilakukan melalui instrumen fiskal, yakni sebanyak 210 item komoditas yang sebelumnya dikenakan tarif PPh 22 sebesar 7,5 persen naik menjadi 10 persen untuk barang mewah. Termasuk, mobil impor utuh (CBU) bermesin di atas 3.000 cc dan sepeda motor bermesin besar (di atas 500 cc).
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan pengendalian impor ini bertujuan untuk menjaga pertumbuhan industri dalam negeri, peningkatan penggunaan produk lokal, dan perbaikan neraca perdagangan. "Sebenarnya ini tools untuk menaikkan utilisasi, apalagi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia juga naik pada bulan Agustus. Artinya, masih ada geliat positif dan upaya ekspansi dari sektor industri," katanya di Jakarta, Rabu (5/9).
Tarif PPh Pasal 22 merupakan pembayaran pajak penghasilan di muka yang dapat dikreditkan dan bisa terutang pada akhir tahun pajak. Untuk itu, kenaikan PPh impor tidak akan memberatkan sektor manufaktur. Dampak jangka panjangnya bisa menciptakan kemandirian industri manufaktur nasional.
Airlangga menegaskan, pengendalian impor tersebut menjadi momentum baik dan juga sebagai bentuk keberpihakan pemerintah guna memacu produktivitas dan daya saing industri nasional. Regulasinya akan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku pekan depan atau tujuh hari setelah ditandatangani oleh Menteri Keuangan.
"Tentu keberpihakan ini diapresiasi oleh kalangan industri manufaktur. Sebelumnya kan tidak ada keberpihakan antara barang impor dan barang domestik karena dengan struktur tarif yang sudah bebas. Dengan demikian, bisa menjadi pemacu local content," ucap Airlangga.