REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengibaratkan Indonesia sedang berada dalam badai yang sempurna. Badai tersebut, kata Sri, berasal dari domestik akibat lonjakan impor yang tinggi. Badai itu menjadi semakin kencang dengan adanya krisis yang dialami negara-negara berkembang.
"Buat kita ini merupakan kejutan (lonjakan impor). Sentimen itu ditambah lagi dengan lingkungan global, Argentina masuk (dapat bantuan) IMF, Turki juga. Itu perfect storm," kata Sri di hadapan anggota Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/9).
Sri menyampaikan, dalam pembahasan dengan anggota Banggar pada Juli 2018, disepakati kisaran asumsi kurs dalam nota keuangan RAPBN 2019 adalah Rp 13.800 hingga Rp 14 ribu per dolar AS. Akan tetapi, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo ditetapkan asumsi kurs menjadi Rp 14.400 per dolar AS.
"Waktu kami harus cetak nota keuangan, pada bulan Juli terjadi turbulensi luar biasa," kata Sri.
Faktor pemicunya, kata Sri, adalah pertumbuhan impor Juli 2018 yang mencapai 31,56 persen (year on year/yoy). Hal itu lantas memicu defisit pada neraca perdagangan dan juga neraca transaksi berjalan. Tekanan tersebut, kemudian ditambah dengan adanya krisis keuangan di Argentina dan Turki.
Oleh karena itu, Sri berharap kepada anggota Banggar untuk memahami dinamika tersebut. Hal itu guna menentukan asumsi nilai tukar rupiah yang akurat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memproyeksi asumsi nilai tukar rupiah pada 2019 berkisar Rp 14.300 hingga 14.700 per dolar AS. Kendati lebih tinggi dari asumsi RAPBN 2019 yang sebesar Rp 14.400 per dolar AS, Perry meyakini tekanan pada nilai tukar rupiah pada tahun depan tidak seberat tahun ini.
"Tekanan pada 2019 akan lebih rendah tidak seberat tahun ini," kata Perry dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR RI dengan Pemerintah dan BI di Jakarta, Selasa (4/9).
Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya dalam rapat Banggar yang sebesar Rp 13.800 hingga 14.100 per dolar AS. Perry memperkirakan, kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tahun ini masih akan terjadi pada September dan Oktober. Artinya, tahun ini suku bunga The Fed akan naik sebanyak empat kali.
Sementara, menurut Perry, The Fed akan lebih sedikit menaikkan suku bunganya yakni hanya tiga kali pada tahun depan. Selain itu, ia memperkirakan harga komoditas akan bergerak naik pada 2019. Hal itu kemudian dapat mendukung peningkatan ekspor dan dapat menurunkan defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD).
Sementara, BI memproyeksikan rata-rata nilai tukar rupiah pada 2018 adalah Rp 14.000 hingga 14.300 per dolar AS. Saat ini, rata-rata nilai tukar rupiah dari Januari hingga Agustus 2018 adalah sebesar Rp 13.944 per dolar AS.