REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menjelaskan, dampak penguatan dolar terhadap rupiah terutama dirasakan untuk bisnis yang menggunakan bahan baku kapas. Sebab, mereka harus 100 persen impor kapas dari luar negeri yang harganya sudah naik 10 persen sejak beberapa pekan lalu.
Redma menjelaskan, untuk pengusaha yang orientasi ekspor, mungkin dampaknya tidak terlalu berasa. Dalam transaksi jual dan beli, mereka masih menggunakan dolar sehingga tidak berpengaruh signifikan.
"Yang sulit itu justru pasar domestik karena bahan bakunya sebagian impor dengan dolar, sedangkan penjualannya dengan rupiah," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (4/9).
Dampak juga dirasakan oleh produsen yang menggunakan bahan baku polyester. Hanya saja, nilai peningkatan biaya produksi mereka tidak sebesar pengusaha dengan bahan baku kapas. Alasannya, polyester masih bisa didapatkan dari pasar dalam negeri.
Tapi, Redma mengakui, pengusaha yang menggunakan polyester tidak bisa bernafas lega. Sebab, begitu beralih ke produksi lokal, ketersediannya masih belum tinggi. "Kebanyakan produsen sudah tutup pabrik akibat sudah kebanyakan pengusaha yang memilih impor beberapa waktu lalu. Ada yang berhenti full dan ada juga yang sebagian," ujarnya.
Untuk memenuhi permintaan pengusaha, produsen polyester harus kembali bergerak. Hanya saja, Redma melihat, pemenuhan kebutuhan tidak dapat dilakukan dalam waktu dekat. Produsen polyester masih membutuhkan waktu untuk 'bangun dari tidur panjang'-nya.
Bahan baku lain yang masih harus impor adalah cat warna dari Cina untuk garmen. Redma menjelaskan, kenaikan harga cat warna ini sudah hingga 200 persen. "Penyebabnya, ada policy lingkungan di Cina yang menyebabkan harga dari sana memang sudah naik. Ditambah lagi, kondisi dolar menguat," tuturnya.
Redma menilai, apabila dilihat secara rata-rata, harga jual dari hulu sampai hilir untuk industri tekstil dan produk tekstil naik hingga lima persen. Angka ini bisa terus naik seiring dengan melemahnya rupiah.
Untuk kondisi ini, Redma berharap agar tindakan antisipasi pemerintah bisa lebih serius, terutama dari segi pembatasan impor. Rencana kebijakan pembatasan impor terhadap 900 komoditas dinilai Redma menjadi poin yang solutif.
"Industri dalam negeri yang harusnya produksi nambah justru jadi tertekan dengan impor terus-terusan. Kalau jadi ada pembatasan, sebenarnya bisa hemat devisa, perkuat rupiah plus industri dalam negeri tumbuh," ujarnya.