REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah semakin mendekati level Rp 15 ribu per dolar AS. Pada akhir perdagangan, mata uang Garuda itu ditutup melemah 0,81 persen atau 120 poin di Rp 14.935 per dolar AS.
Sebelumnya, pagi tadi kurs rupiah dibuka melemah 8 poin atau 0,05 persen di Rp 14.823 per dolar AS. Kemudian pukul 08.30 WIB semakin terdepresiasi ke Rp 14.845 per dolar AS.
Hanya saja, sekitar pukul 10.00 WIB, laju rupiah mulai menguat 0,24 persen atau 35 poin. Dengan begitu ada di level Rp 14.780 per dolar dan tidak beranjak hingga perdagangan sesi II.
Sementara, sekitar pukul 10.30 WIB, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di posisi Rp 14.840 per dolar AS. Angka itu lebih lemah dibandingkan posisi kemarin di Rp 14.780 per dolar AS.
Baca juga, Jokowi: Negara Saat Ini Butuh Dolar.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menilai, tren penguatan mata uang dolar AS memang terus berlanjut. Hal itu memengaruhi laju mata uang di emerging market termasuk Indonesia.
"Kalau lihat data, sejak 1968 penguatan dolar AS paling lama sembilan bulan. Saat ini sudah sekitar lima sampai enam bulan terjadi," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (4/9).
Lebih lanjut, kata dia, kemungkinan ke depan masih ada tekanan terhadap kurs rupiah. Hal itu karena masih ada tekanan kenaikan bunga Fed atau Fed Fund Rate (FFR) yang diperkirakan bulan ini.
Ditambah, negosiasi dagang antara Cina dan AS pun belum jelas. "Rabu besok kan ada penerapan 25 persen ke 200 miliar produk Cina. Jadi pasar khawatir bagaimana respon Cina, apakah akan lemahkan mata uang yuan lagi atau tidak. Kalau iya, maka emerging market akan terpukul dari dua arah," jelasnya.
David menjelaskan, sampai akhir tahun, ada kemungkinan rupiah menembus Rp 15 ribu per dolar AS. Hanya saja, tidak menutup kemungkinan pula rupiah balik ke Rp 14 ribu per dolar AS.
"Jadi tergantung perkembangan positif di eksternal. Misalnya kalau negosiasi antara Cina dan AS bisa tuntas dalam waktu dekat. Dilihat juga dolar AS akan melemah atau menguat, kalau dolar AS lebih lemah, Fed tidak akan agresif," jelas David.