REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah menembus Rp 14.900 per dolar AS, sudah 'lampu merah'. Karenanya, kata Abra, pemerintah perlu mewaspadai gejolak kurs rupiah ini.
"Gejolak nilai tukar rupiah sudah lampu merah. Dalam transaksi perdagangan siang ini sudah menyentuh Rp 14.902 per dolar AS, melanjutkan level terendah sejak krisis 1998," ujar Abra saat dihubungi Antara di Jakarta, Selasa (4/9).
Menurut Abra, pemerintah dan Bank Indonesia harus mampu menjaga kepercayaan pasar bahwa upaya penyelamatan rupiah yang sedang dilakukan pemerintah dilakukan secara struktural dan berdimensi jangka panjang.
Selain mengancam para spekulan valas, lanjut Abra, pemerintah mestinya juga memberi contoh dengan mendorong para pejabat dan BUMN untuk menukarkan sebagian aset dolarnya ke rupiah. "Jadi tidak hanya mendesak eksportir untuk menukarkan devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah," kata Abra.
Abra menuturkan, ajakan penukaran rupiah tersebut penting guna menciptakan stabilitas psikologis masyarakat. "Hal yang paling dikhawatirkan ialah kalau sampai gejolak rupiah saat ini menciptakan sentimen negatif yang semakin membesar menjadi kecemasan massal," ujar Abra.
Selain itu, Abra menambahkan, aneka upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga mesti disampaikan secara baik kepada investor.
"Jangan sampai rencana kenaikan PPh barang impor dibaca sebagai bentuk proteksi yang berlebihan sehingga justru memantik tindakan balasan atau retaliasi dari para mitra dagang," kata Abra.
Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar Rupiah pada Selasa mencapai Rp 14.840 per dolar AS, melemah dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.767 per dolar AS.