REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Sekjen Kemendes PDTT), Anwar Sanusi, menegaskan digulirkannya dana desa tak hanya untuk mengatasi persoalan kemiskinan di desa. Namun juga untuk mengantisipasi potensi peningkatan angka kemiskinan di kota.
"Potret urbanisasi, data dari statistik, sebanyak 1,2 persen setiap tahun. Sehingga kalau tidak ada intervensi konkret, tahun 2045 kita bisa estimasikan bahwa orang yang akan tinggal di desa hanya tinggal 35 persen," katanya, Jumat (31/8).
Ia mengatakan, masyarakat desa yang melakukan urbanisasi tersebut mengadu nasib ke kota dengan bekal pengetahuan yang minim. Hal tersebut akan berpotensi menambah jumlah angka kemiskinan di kota.
"Menurut saya, dihadirkannya Undang-undang tentang Desa, kemudian dengan disalurkannya dana desa adalah upaya optimal untuk mengubah potret dan stigma negatif tentang desa. Kita buktikan bahwa desa adalah wilayah penuh harapan. Sehingga yang awalnya orang ingin ke kota, suatu saat justru orang kota yang ingin pergi ke desa," ujarnya.
Anwar Sanusi mengatakan, jumlah dana desa yang bergulir sejak tahun 2015 tak sedikit, pada 2015 sebesar Rp 20 triliun, 2016 sebesar Rp 46,9 triliun, 2017 sebesar Rp 60 triliun, 2018 sebesar Rp 60 triliun. Rencananya, dana desa tahun 2019 akan meningkat menjadi Rp 73 triliun.
"Tahun depan dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp 73 triliun. Dengan begitu, dana desa yang digulirkan selama lima tahun jumlahnya cukup besar yakni Rp 260 triliun," ungkapnya.
Ia meyakini, dana desa mampu memberikan perubahan wajah yang konkret bagi desa. Dana desa akan mampu mengubah stigma desa yang dianggap sebagai daerah miskin.
"Suatu saat, (kalimat) wong ndeso (orang desa) akan menjadi atribut yang prestigious (bergengsi). Kalau sekarang, 'alah wong ndeso', suatu saat akan berbaik, 'alah wong kuto (orang kota)'," candanya.