REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir menjelaskan, pemangkasan rantai pasok impor minyak membuat negara lebih efisien. Efisiensi ini akhirnya berpengaruh pada harga jual ke konsumen dan beban Pertamina yang lebih ringan dibandingkan dahulu.
Inas mengatakan, pada 2012, skema impor minyak mentah dilakukan melalui Petral. Saat Petral belum dibubarkan, proses impor minyak membutuhkan sedikitnya tiga sampai empat rantai pasok.
"Dengan skema itu, formula harga Premium saat itu menyebabkan subsidi APBN mencapai Rp 200 triliun," ujar Inas, Kemarin.
Setelah Petral dibubarkan, Pemerintah bisa lebih berhemat. Selain tidak lagi memakai APBN dalam menanggung subsidi Premium, Pertamina juga tidak perlu mengeluarkan sejumlah biaya lagi untuk membeli minyak mentah karena panjangnya rantai pasok.
"Di era Jokowi, rantai pasok impor dipangkas menjadi dua langkah. Dari trader langsung ke Pertamina. Formula harga menjadi lebih ekonomis yakni, 2 - 2,5 dolar AS per barrel, dimana subsidi APBN ditiadakan," ujar Inas.
Hal ini kemudian, kata Inas, membuat beban APBN untuk BBM semakin ringan. Jika pada akhir 2014 harga Premium berada di Rp 5.500 per liter, namun beban APBN Rp 45 triliun. Saat ini, harga Premium bisa tetap terjangkau dengan harga Rp 6.450 per liter dengan subsidi yang ditanggung Pertamina sebesar Rp 15,6 triliun.