REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 10 tahun hidup Solihin tak menentu. Pekerjaan yang tak tetap membuatnya selalu berpikir bagaimana cara menghidupi keluarganya. Anak pertamanya yang sempat menempuh bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada(UGM) pun jadi pikiran utamanya.
“Tahun 1995 sampai sekitar 2013 mayoritas pekerjaan saya jadi supir tembak. Bukan di Solo, tapi justru di Sragen dan Banyuwangi. Anak saya masuk kuliah 2013 lalu. Penghasilan supir tembak pun untuk membayar biaya kuliah,” tutur Solihin saat ditemui usai acara Penganugerahan Transmigran Teladan di Gedung Balai Makarti Muktitama, Jakarta, Rabu (15/8) lalu.
Meski demikian, penghasilannya masih belum cukup. Pria yang tinggal di Gilingan, Surakarta, bersama keluarganya itu mengungkapkan, sebagai sopir tembak dirinya mendapatkan Rp 700 sampai Rp 900 ribu per bulan. Jauh dari harapan. Kuliah anak pun terhambat.
Dia sempat merantau bekerja di perusahaan logging di Luwu Utara, Sulawesi. Namun hanya satu tahun bertahan lantaran ada konflik antarwarga. Ia kembali ke Surakarta.
“Saya lalu dengar kabar dari teman jika Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan memberangkatkan transmigran menuju lokasi transmigrasi Mahalona, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Saya mencoba dan diterima. Lalu mengikuti persiapan dan berangkat tahun 2014 lalu,” katanya.
Pria tiga anak tersebut termotivasi mengikuti program transmigrasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sulitnya hidup di Jawa membuatnya memutuskan menjadi transmigran.
“Pada saat itu cari gaji satu juta (rupiah) saja sulit. Bagaimana nanti nasib anak-anak yang masih kecil. Nah, di lokasi transmigrasi saya dapat rumah dan tanggungan makan setahun. Lalu diberikan lahan satu hektare. Dua tahun kemudian diberikan lagi satu hektare,” ungkapnya.
Meski sudah mendapatkan tanah, dia tak langsung menggarap lahan tersebut. Dengan uang pegangan sebesar Rp 9 juta, Solihin memilih untuk berdagang terlebih dahulu. Ia membeli merica milik masyarakat sekitar dan dijual kembali di pasar.
“Penjualan saya bagus. Saya bisa setor sampai Rp 15 juta ke bos saya. Dalam sebulan sedikitnya saya bisa dapat Rp 5 juta. Bos makin percaya dengan saya,” sambungnya.
Dengan penghasilan itu, ia memilih untuk membeli lahan daripada menabungnya. Usahanya tak sia-sia. Kini dirinya memiliki total lahan lima hektare untuk menanam merica. Saat ini yang sedang ditanami dua hektare. Buah merica dari lahannya juga ia jual. Sambil tetap berdagang, kini penghasilannya mencapai Rp 600 juta setahun.
“Saya mulai fokus menanam merica pada 2015. Waktu itu harganya Rp 170 ribu per kilogram. Meski saat ini harganya turun, namun pasarnya tetap bagus. Dari provinsi bahkan selalu mencari merica di tempat saya,” katanya.
Ke depan, dia berharap infrastruktur pendukung pertanian di kawasan transmigrasi bisa lebih difasilitasi. Menurut Solihin, hal yang dibutuhkan adalah jalan produksi tani, jembatan, serta percetakan sawah. Jika semua terpenuhi, maka para transmigran di Kota Terpadu Mandiri (KTM) Kawasan Transmigrasi Mahalona akan makmur.
“Pesan saya, jangan lelah mencari ilmu. Ilmu yang didapat coba terapkan di tempat asal,” pesannya.
Transmigrasi, lanjut dia, perlahan mengubah hidupnya. Anak pertamanya kini sudah berkeluarga. Yang kedua menjadi pramugari. Lalu adiknya masih sekolah. Bagi Solihin, pendidikan yang baik harus jadi nomor satu.
Sejak 10 Agustus lalu, para transmigran teladan telah berada di Jakarta untuk mengikuti serangkaian kegiatan. Usai mengikuti Anugerah Transmigran Teladan, pada Kamis (16/8) para transmigran teladan akan mengikuti Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR. Kemudian transmigran teladan terpilih akan mengikuti upacara kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada 17 Agustus mendatang.