Senin 13 Aug 2018 19:08 WIB

Kemendag: Pembicaraan Sanksi WTO ke Indonesia Dibahas Besok

Indonesia telah mengubah beberapa aturan yang dianggap merugikan AS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan (kiri) dalam konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (13/8).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan (kiri) dalam konferensi pers di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (13/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan berharap, Indonesia tidak sampai membentuk panel kepatuhan atau compliance panel terkait penyesuaian peraturan Dispute Settlement (DS) 478. Upaya ini merupakan prosedur terakhir apabila tidak ada kata kesepakatan antara dua pihak, yakni Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia.

Oke mengatakan, dua negara akan bertemu dalam ruang diskusi pada Rabu (15/8) di Jenewa, Swiss. Perwakilan Indonesia di World Trade Organization (WTO) akan bertemu dengan perwakilan AS di WTO. "Kami akan duduk bersama untuk membicarakan apa yang dimaksud Amerika dengan melakukan retaliasi," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kemendag di Jakarta, Senin (13/8).

Oke menuturkan, pertemuan besok akan membahas ketidakpatuhan yang ditujukan AS ke Indonesia. Penyesuaian dengan mengamandenen beberapa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) untuk sejalan dengan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO juga akan dipaparkan dalam pertemuan.

Secara garis besar, pertemuan pada 15 Agustus bertujuan untuk meminta penjelasan kepada AS. Sebab, setelah AS mengirimkan gugatan ke WTO, mereka harus menjelaskan ketidakpatuhan yang dimaksud. "Kami optimistis berjalan lancar karena kami masih on the track," ujar Oke.

Baca juga, Pemerintah Siapkan Tim untuk Hadapi Amerika di WTO

Oke menegaskan, sejak mendapat keputusan sidang, Indonesia telah melakukan perubahan terhadap beberapa aturan yang dianggap merugikan AS. Waktu untuk mengubah regulasi pun masih sesuai yang dijanjikan, yakni selambatnya pada 22 Juli 2018.

Setelah itu, AS sebenarnya bisa menyatakan puas ataupun tidak puas selama 20 hari sesuai dengan aturan main di WTO. Oke memprediksi, AS mungkin saja belum sempat mempelajari perubahan, namun berupaya mengamankan haknya untuk melakukan retaliasi apabila Indonesia dinyatakan gagal memenuhi kewajibannya.

"Jadi mereka (AS) ingin reserve dulu dengan file ke WTO bahwa ada potensi kerugian sebesar 350 juta dolar AS. Mereka kirim file itu dalam rangka menjaga haknya karena hanya punya waktu 20 hari (untuk menyatakan puas atau tidak puas)," tutur Oke.

Oke menambahkan, retalisasi senilai 350 juta dolar AS atau Rp 5 triliun tidak harus selalu berbentuk denda. Misalkan, apabila nanti dinyatakan angka itu benar dan Indonesia harus membayarnya, Indonesia bisa memenuhinya dengan berbagai cara. Termasuk di antaranya dengan membeli komoditi yang ditawarkan Amerika sesuai nominal tersebut.

Terpenting saat ini, Oke menjelaskan, Indonesia meminta kepada AS untuk mempelajari terlebih dahulu Permentan dan Permendag. "Apakah sudah memenuhi atau belum, lalu sampaikan ke kami," ucapnya.

Pekan lalu, AS menuntut ganti rugi kepada pemerintah Indonesia sebesar 350 juta dolar AS atau setara Rp 5 triliun.  Langkah itu ditempuh karena Indonesia dinilai gagal memenuhi putusan  WTO tentang impor produk hortikultura, hewan, dan produk hewan dalam Dispute Settlement 478.

Dalam dokumen ke WTO, AS meminta otoritas untuk memberi sanksi terhadap Indonesia yang dianggap melewati deadline pada 22 Juli 2018. Amerika menilai, proteksi dagang yang dilakukan Indonesia dalam kebijakan nontarif tersebut memberikan efek bagi perdagangan Amerika

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement