REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah diminta menyederhanakan proses perizinan untuk perusahaan teknologi keuangan atau financial technology (fintech). Penyederhanaan bisa dilakukan dengan membuat perizinan terpadu satu pintu khusus fintech yang dinaungi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menjelaskan, proses perizinan fintech saat ini tidak hanya di OJK. Menurut dia, ada 14 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam proses perizinan.
Bhima menjelaskan, selain mengurus izin ke OJK, sebuah perusahaan fintech harus mengurus perizinan kepada Kementerian Hukum dan HAM terkait tanda tangan basah. Sebab, fintech menggunakan tanda tangan digital dalam memproses pengajuan kredit. Perizinan juga dilakukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mendaftarkan aplikasi.
"Jadi, ongkos membuat perizinan sangat lama dan mahal. Karena perizinan bukan hanya ke OJK," kata Bhima kepada Republika.co.id, Rabu (8/8).
Dia mengungkapkan, masih berbelitnya proses perizinan itulah yang saat ini membuat banyak perusahaan fintech tak mendapat perizinan. Menurut catatannya, dari sekitar 66 fintech yang terdaftar di OJK, baru satu perusahaan yang resmi mendapatkan perizinan.
Bhima menilai, perizinan perlu dilayani dalam perizinan terpadu satu pintu. Semua perizinan baik dari OJK, Bank Indonesia (BI), serta kementerian/lembaga lainnya diproses dalam satu pintu. "Perizinan satu pintu itu bisa di bawah OJK. Supaya tidak terjadi tumpang tindih perizinan," kata dia.
Selain itu, Bhima juga menyarankan agar Online Single Submission (OSS) atau sistem pelayanan terpadu secara elektronik bisa digunakan pelaku usaha fintech. Menurutnya, sistem tersebut sangat membantu pelaku usaha dalam memproses perizinan. "Sebab, dalam sistem itu diketahui sampai di mana proses perizinan berjalan. Selain itu, lebih murah biayanya," ujar dia.
Bagi Bhima, fintech perlu mendapat perhatian karena dapat membantu meningkatkan inklusi keuangan. Dia menuturkan, sejak Indonesia merdeka, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 39 persen. Rasio tersebut jauh lebih rendah dibandingkan banyak negara lainnya seperti Cina, Singapura, Korea Selatan yang rasio kredit terhadap PDB-nya lebih dari 100 persen.
Masalah lainnya, ujar dia, ada 43 persen penduduk Indonesia yang meminjam uang dari teman dan keluarga. Tak sedikit pula yang meminjam kepada rentenir.
"Fintech punya peran strategis karena segmen mereka adalah orang-orang yang unbankable. Mereka pun sudah cukup ekspansif menyalurkan kredit di wilayah timur Indonesia," katanya.