REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perwakilan negara anggota ASEAN dan FAO hadir di Yogyakarta membahas strategi Komunikasi Kesehatan Hewan di regional ASEAN untuk mencegah ancaman penyakit hewan menular, zoonosis, dan resistensi terhadap antimikroba. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia memfasilitasi sekaligus berperan aktif dalam pembahasan dan diskusi tersebut.
Pertemuan ini bagian dari kegiatan ASEAN Communication Group on Livestock (ACGL) yang dilaksanakan mulai 7 sampai dengan 10 Agustus 2018.
"Negara-negara ASEAN perlu menyikapi permasalahan munculnya penyakit hewan yang bersifat lintas batas (transboundary) dan zoonosis di kawasan ASEAN, sehingga sangat diperlukan respon komprehensif dan terpadu antar negara anggota ASEAN,” kata Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rassa, saat membuka forum pertemuan tingkat ASEAN, Selasa (7/8).
Fadjar mengatakan, Indonesia bersama Kamboja menjadi Lead Country Moderator dalam pertemuan itu.
Fadjar menuturkan, latar belakangi pembentukan ACGL ini adalah untuk menyelaraskan kegiatan komunikasi dan advokasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan di negara-negara anggota ASEAN. Kali ini pertemuan diikuti oleh seluruh negara anggota ASEAN yang diwakili oleh Focal Point ACGL, Focal Point dari ARAHIS (ASEAN regional animal health information system), Focal Point AHPISA (animal health and production information system for ASEAN) dan dihadiri oleh perwakilan Sekretariat ASEAN, serta FAO Regional untuk wilayah Asia dan Pasifik.
Pada kesempatan tersebut, Fadjar yang sekaligus sebagai National Focal Point ASWGL (ASEAN sectoral working group on livestock) mengapresiasi delegasi ASEAN dan perwakilan badan Internasional dalam mewujudkan harmonisasi dalam komunikasi dan kegiatan advokasi di bidang kesehatan hewan di tingkat ASEAN. ASWGL merupakan forum kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN yang mewadahi bidang peternakan dan kesehatan hewan.
Ia menambahkan, pertemuan (ASWGL) yang ke-19 pada 2012 telah disadari adanya kebutuhan mendesak untuk menciptakan forum komunikasi di ASEAN dan membentuk ASEAN Ad-Hoc CGL, di mana pertemuan pertama kali dilaksanakan 10-12 Juli 2012 di Philipina.
Lebih lanjut Fadjar mengatakan, pertemuan ACGL kelima sebelumnya telah dilakukan pembahasan, diantaranya: penyusunan Kerangka Strategi Komunikasi bidang peternakan untuk kawasan ASEAN, Strategi Integrasi ACGL ke ASEAN coordinating centre for animal health and zoonosis (ACCAHZ), struktur dan komponen ASEAN animal health cooperation website (AAHCW), dan Mekanisme Implementasi Kerangka Strategi Komunikasi bidang peternakan untuk kawasan ASEAN.
Pebi Purwo Suseno selaku Ketua Delegasi Indonesia mengatakan, pada pertemuan ACGL ke-6 akan dibahas lebih lanjut mengenai perkembangan Mekanisme Implementasi Kerangka Strategi Komunikasi bidang peternakan untuk kawasan ASEAN dan pembahasan Website Kerjasama di bidang Kesehatan Hewan ASEAN.
Ia menjelaskan, ASEAN selama ini mempunyai 3 website yaitu ARAHIS (ASEAN Regional Animal Health Information System), AHPISA (animal health and production information system for ASEAN), dan www.asean.animalhealth, namun saat ini situs tersebut tidak lagi aktif.
“Untuk kemungkinan mengaktifkan kembali dan memelihara website ASEAN tersebut, maka perlu dibahas bersama dengan negara anggota ASEAN lainnya. Dalam pertemuan ini pastinya nanti akan kita bahas perlunya modalitas untuk sistem informasi kesehatan hewan terpadu," tambahnya.
Pebi menuturkan, strategi regional untuk komunikasi dan advokasi mengenai antimicrobial resistance (AMR) akan dibahas pada pertemuan ini. Pada pertemuan ASEAN ministers on agriculture and forestry (AMAF) ke-39 yang dilaksanakan pada 2017 lalu telah merekomendasikan forum AGCL membahas lebih lanjut implementation of the framework AMR dan memperbaiki perangkat kerjanya.
“Kita berharap implementasi komunikasi dapat mendukung pengembangan sistem monitoring dan surveillans, serta peningkatan kapasitas laboratorium di setiap negara ASEAN. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan terkait AMR dan penggunaan antimikrobial di bidang pangan dan pertanian,” ucapnya.
Pebi menambahkan, rancangan pengembangan strategi komunikasi untuk AMR disusun dengan menyediakan paket perangkat komunikasi, melalui penyediaan pesan kunci, identifikasi spesifik target audien, dan pilihan media penyampaian pesan dengan mempertimbangkan budaya lokal. “Implementasi komunikasi AMR dilakukan bersama-sama antara FAO, OIE, dan WHO untuk mendukung ketersediaan dan keberlanjutan sumber informasi yang relevan yang dapat didesiminasikan secara luas,” ucap Pebi.