REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Reaktivasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) oleh Bank Indonesia (BI) dinilai memiliki dampak positif dan negatif. Sisi negatifnya dikhawatirkan menimbulkan perebutan dana antara BI dan pemerintah.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, reaktivasi SBI punya sisi positif bisa menarik dana asing masuk ke pasar keuangan. Sehingga berpotensi menguatkan devisa meskipun efeknya jangka pendek.
"Negatifnya karena dana asing yang masuk sifatnya portfolio rentan keluar lagi jika terjadi gejolak berlebih di ekonomi global. Karakter investasi portofolio easy in easy out," terang Bhima saat dihubungi wartawan, Selasa (24/7).
Bhima menjelaskan, sisi negatifnya ada potensi terjadinya perebutan dana antara BI dan Pemerintah. Di satu sisi, Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah berkurang daya tariknya akibat naiknya selisih imbal hasil atau yield spread dengan treasury bond. Kepemilikan asing di SBN cenderung menurun.
"Jika perebutan dana terjadi dikhawatirkan Pemerintah akan memberikan bunga kupon lebih mahal, meskipun credit rating-nya masih cukup bagus," ungkapnya.
Baca juga, Bagaimana Nasib SBN Jika BI Kembali Mengaktifkan SBI?
Selain itu, lanjutnya, reaktivasi SBI juga memunculkan crowding out effect dengan pelaku usaha. Nantinya, uang bank akan lebih tertarik masuk instrumen keuangan. Sehingga intermediasi ke sektor riil berpotensi bisa terganggu. "Selain itu bagi perusahaan swasta karena terjadi perebutan dana harus tawarkan bunga yang lebih menarik lagi," imbuhnya.
Terlebih, tren sekarang swasta lebih mencari pendanaan alternatif melalui obligasi korporasi, Medium Term Notes (MTN), dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) yang meningkat 60,2 persen (yoy) pada Mei 2018 berdasarkan data Bank Indonesia.
Menurutnya, kejar-kejaran dana di pasar keuangan tersebut ujungnya kalau tidak hati-hati bisa mengerek cost of borrowing (biaya pinjaman) pelaku usaha. Apalagi di tengah tren kenaikan bunga acuan, investor mengharapkan imbal hasil (return) bunga yang semakin tinggi.
Dia menilai, Bank Indonesia perlu mencermati kas internal untuk membayar bunga SBI. Sebab, patokan SBI menggunakan bunga acuan BI yang trennya juga naik. Sehingga beban pembayaran bunga menjadi contigent liabilities jangka panjang. "Jangan mengulang defisit BI yang pernah terjadi sebelumnya," ujarnya.
Sementara itu, Project Consultant Asian Development Bank Institute, Eric Sugandi, menyatakan reaktivasi SBI bisa untuk memperdalam pasar keuangan dan menambah likuiditas. Sehingga pasarnya lebih efisien dan menambah minat investor asing.
"Tapi mungkin mesti dipertimbangkan juga apakah sebaiknya BI yang reaktivasi SBI atau Kementerian Keuangan mengeluarkan lebih banyak SBN tenor di bawah satu tahunn, atau kedua-duanya," kata Eric saat dihubungi wartawan.
Eric menjelaskan, dampak positif reaktivasi SBI, borrower akan lebih senang dengan over night reference rate yang lebih merefleksikan market rate sebenarnya. Sebab, JIBOR cenderung bias ke atas.
Jika BI menjual SBI berarti menarik rupiah dari market, bukan malah menambah likuiditas rupiah karena investor yang membeli SBI membayar ke BI.
Menurutnya, investor asing senang dengan pasar yang likuid karena investor bisa menjual ketika butuh dan karena ada pembelinya. Semakin banyak instrumen pasar uang di suatu market, lanjutnya, semakin likuid marketnya.
"Dengan dikeluarkan SBI, BI menyediakan lebih banyak instrumen untuk trade. Bahkan BI juga berperan sebagai buyer dan seller untuk SBI via operasi pasar," imbuh Eric.
Sementara dampak negatifnya, jika BI mereaktivasi SBI lagi, maka risikonya ada interest cost yang mesti ditanggung BI. Hal tersebut tidak masalah jika BI siap menanggung interest cost tersebut.
"Dulu SBI secara berangsur dikurangi agar BI bertahap beralih ke SBN untuk instrumen operasi pasar, seperti Bank Sentral AS menggunakan instrumen surat berharga yang dikeluarkan oleh Kemenkeu AS," tuturnya.