REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memprediksi, penerimaan pajak meleset dari target atau shortfall pada tahun ini akan kembali terjadi. Menurutnya, saat ini pemerintah baru bisa mencatatkan pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 14 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara, untuk bisa mencapai target dibutuhkan pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 23 persen.
"Shortfall pajak tetap kemungkinan terjadi karena gap-nya masih besar sekali. Target pajak itu pertumbuhannya harus 23 persen sementara terakhir itu (realisasi Juni 2018) pertumbuhannya hanya 14 persen," kata Faisal ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (18/7).
Faisal mengatakan, tahun ini diprediksi penerimaan negara bisa mencapai target yang sebesar Rp 1.894,7 triliun. Hal itu, kata Faisal disebabkan faktor pelemahan rupiah dan peningkatan harga minyak dunia.
"Faktor itu menambah penerimaan pemerintah. Jadi, 100 persen itu bukan karena effort tapi lebih karena diuntungkan faktor eksternal," katanya.
Sebelumnya, pemerintah memproyeksikan penerimaan perpajakan hanya akan mencapai Rp 1.548,5 triliun atau 95,7 persen dari target sebesar Rp 1.618 triliun. Akan tetapi, hal itu terkompensasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diproyeksi bisa mencapai Rp 349,1 triliun atau lebih tinggi 27 persen dari target sebesar Rp 275,4 triliun. Dengan proyeksi tersebut, pemerintah memperkirakan penerimaan negara keseluruhan adalah sebesar Rp 1.903 triliun atau kelebihan Rp 9 triliun dari target APBN 2018.
Faisal mengatakan, ketika dukungan faktor eksternal pada penerimaan tersebut telah berakhir maka daya bantu pada APBN pun akan berkurang. "Jadi yang perlu diperkuat itu ya dari internal, domestiknya. Pajak harus lebih diintensifkan tanpa harus berdampak pada mengerem pertumbuhan ekonomi," kata Faisal.