Selasa 17 Jul 2018 20:21 WIB

Program Subsidi, Pengamat: Setelah 2019 Bagaimana?

Program subsidi dibutuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
BBM Bersubsidi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
BBM Bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, program subsidi pemerintah perlu lebih terprogram dan tepat sasaran. Hal ini lantaran kebijakan kenaikan subsidi BBM terutama jenis solar terjadi menjelang tahun politik.

"Mengingat ini terjadi menjelang tahun politik, pertanyaannya setelah 2019 bagaimana? Apakah ini program yang direncanakan pemerintah dalam jangka menengah panjang ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah atau hanya jelang tahun politik saja," kata Faisal ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/7). 

Menurut Faisal, program subsidi masih diperlukan terutama untuk menjaga daya beli masyarakat. Akan tetapi, program tersebut perlu lebih tepat sasaran dan tidak memanjakan masyarakat kecil.

"Jadi, caranya bukan hanya dengan memberikan bantuan yang sifatnya charity tapi menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat bawah. Itu yang penting supaya masyarakat sejahtera karena mereka kerja dan dengan pendapatan yang lebih besar," katanya.

Faisal mengatakan, lonjakan subsidi energi terutama dari BBM jenis solar disebabkan faktor kenaikan harga minyak dunia. Akan tetapi, ia menyebut, dari sisi penerimaan pemerintah juga mendapat keuntungan dari peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak migas.  "Jadi harga minyak meningkat sehingga belanja naik namun penerimaan juga naik," katanya.

Meski perlu mempertahankan subsidi, Faisal menyoroti realisasi belanja modal pada semester pertama 2018 yang baru 20 persen atau mencapai Rp 40,7 triliun. Sementara, pembayaran bunga utang telah terealisasi 50,5 persen dan belanja bantuan sosial 55,5 persen.  "Yang paling besar realisasi belanja itu justru bansos dan bayar utang. Jadi kualitas atau daya dorong APBN terhadap pertumbuhan ekonomi itu masih belum optimal," katanya. 

Belanja subsidi bengkak

Belanja subsidi energi diyakini akan membengkak melebihi pagu anggaran yang sebelumnya ditetapkan di APBN 2018.  Pemerintah memproyeksikan belanja subsidi energi akan mencapai Rp 163,5 triliun atau melonjak 73 persen dari pagu di APBN 2018 yang sebesar Rp 94,5 triliun. Artinya, anggaran subsidi energi lebih tinggi Rp 69 triliun dari pagu anggaran tersebut.

"Kita hitung berdasarkan jumlah subsidi yang sudah ada pada semester pertama dan juga perbedaan harga diesel terhadap yang ditetapkan dengan harga yang berlangsung. Kita bahas bersama Menteri ESDM dan BUMN, beserta Pertamina dan PLN untuk melihat kondisi keuangan mereka," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kompleks parlemen, Jakarta pada Selasa (17/7).

Baca juga, Pemerintah Prediksi Belanja Subsidi Energi Bengkak 73 Persen.

Seperti diketahui, pemerintah menaikkan subsidi BBM jenis solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Ia mengatakan, kenaikan subsidi BBM untuk menjaga neraca keuangan Pertamina. "Kita melihat operasional dari sisi potensi keuntungan baik dari hulu maupun dari kegiatan hilir yang berkaitan dengan subsidi," kata Sri.

Realisasi penyaluran subsidi energi pada semester pertama 2018 mencapai Rp 59,5 triliun atau 63 persen dari pagu anggaran. Dengan adanya proyeksi kenaikan penyaluran subsidi energi maka total proyeksi belanja untuk subsidi adalah Rp 228,1 triliun. Sementara, total belanja negara diproyeksikan mencapai Rp 2.217,2 triliun atau 99,8 persen dari pagu belanja Rp 2.220,7 triliun.

"Secara overall, policy ini untuk menjaga daya beli masyarakat dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ini juga untuk menjaga stabilitas terutama karena ada tekanan cukup besar sehingga tetap bisa menjaga confidence," kata Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement