REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih mencatatkan surplus perdagangan nonmigas dengan Amerika Serikat sebesar 4,12 miliar dolar AS pada semester pertama 2018.Nilai surplus tersebut menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai, belum ada dampak pada rencana AS yang ingin mengevaluasi 124 produk ekspor Indonesia. Produk-produk tersebut mendapat pemotongan bea masuk dalam Generalized System of Preferences (GSP) Paman Sam.
"Kita saat ini masih mencatat surplus dan sampai saat ini belum ada dampak dari rencana itu (evaluasi GSP)," kata Suhariyanto di Jakarta, Senin (16/7).
Berdasarkan data BPS, surplus neraca dagang nonmigas dengan AS pada Juni 2018 sebesar 559 juta dolar AS. Sehingga, neraca perdagangan kumulatif pada semester pertama 2018 adalah sebesar 4,12 miliar dolar AS.
Sementara, pada periode yang sama tahun lalu neraca dagang Indonesia terhadap AS surplus 4,7 miliar dolar AS. Ekspor nonmigas ke AS juga masih mengalami peningkatan.
Pada semester pertama 2018, ekspor Indonesia ke AS sebesar 8,56 miliar dolar AS atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8,36 miliar dolar AS.
Baca juga, Perdagangan Indonesia Alami Surplus 1,74 Miliar dolar AS.
Sementara itu, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina semakin melebar. Tercatat, pada semester pertama 2018 neraca dagang dengan Cina mengalami defisit sebesar 8,3 miliar dolar AS. Sementara, pada semester pertama 2017, defisit neraca dagang dengan Cina hanya sebesar 6,6 miliar dolar AS.
Cina juga mendominasi pangsa impor nonmigas Indonesia pada semester pertama 2018 yakni 27,43 persen atau sebesar 20,57 miliar dolar AS. Sementara, ekspor Indonesia ke Cina adalah sebesar 12,3 miliar dolar AS atau 15,49 persen dari total ekspor Indonesia semester pertama 2018.
Kunjungi AS
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan segera terbang ke Amerika Serikat untuk menemui Departemen Perdagangan AS atau United States Trade Representative (USTR) pada akhir Juli mendatang. Mendag akan melakukan negosiasi dengan USTR agar Indonesia tetap mendapatkan fasilitas Generalized System of Preference (GSP).
“Kita akan bicara dengan USTR agar GSP tetap kita dapatkan,” kata Enggartiasto, usai rapat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (11/7).
GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan manfaat pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara lain. Tujuan dari kebijakan GSP yakni untuk membantu perekonomian negara berkembang.
Berdasarkan laporan GSP Amerika Serikat pada 2016, Indonesia memperoleh manfaat GSP sebanyak 1,8 miliar dolar AS dari total ekspor sebesar 20 miliar dolar AS.