REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluhkan Amerika Serikat. Hal itu terkait dengan rencana AS mengevaluasi 124 produk ekspor Indonesia yang menerima pemotongan bea masuk dalam Generalized System of Preferences (GSP).
Ekonom Indef, Eko Listianto mengatakan, apabila GPN dianggap sebagai penghambat kerja sama dengan AS justru menjadi hal yang aneh. Karena, seiring dengan peningkatan GPN, secara umum potensi ekonomi Indonesia akan lebih menarik bagi semua pelaku ekonomi domestik maupun luar negeri, termasuk AS.
Baca juga, Mendag: Indonesia Satu-Satunya Negara yang Diajak Bicara AS
"Menyandingkan GPN dengan GSP tidak sebanding, karena GPN merupakan kepentingan strategis Indonesia dalam mengembangkan sistem pembayaran yang handal dan efisien ke depan," ujar Eko kepada Republika, Ahad (15/7).
Eko mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan rencana evaluasi GSP AS. Karena GSP sifatnya 'belas kasihan atau bantuan' AS kepada negara-negara mitra yang mau kerja sama dagang dengan mereka, tapi masih belum mampu, terutama untuk negara berkembang dan negara terbelakang. Oleh karena itu, GSP ini setiap saat dapat dievaluasi oleh AS.
Di sisi lain, AS tidak perlu terlalu mencampuri kebijakan GPN. Adapun kebijakan GPN ini semangatnya yakni ditujukan untuk mempercepat inklusi keuangan dengan dukungan sistem pembayaran.
"Dengan GPN secara rata-rata biaya transaksi non tunai ke depan akan lebih murah dari saat ini yang lebih mengandalkan jasa asing (Visa dan MasterCard)," kata Eko.
Menurut Eko, dengan biaya yang lebih terjangkau tersebut kama ekspansi akan lebih mudah. Selain itu, jika Visa dan MasterCard ikut berpartner dengan GPN maka mereka akan diuntungkan karena skala ekonomi menjadi lebih luas. Eko menjelaskan, upaya Indonesia membuat GPN adalah untuk mempercepat inklusi keuangan dan langkah strategis untuk memiliki sistem pembayaran yang handal.
Apabila GPN berhasil, maka ketergantungan transaksi non tunai yang selama ini hanya dinikmati oleh segelintir pelaku asing akan berkurang. Selain itu, perlindungan data transaksi nasabah juga menjadi berdaulat karena dikelola di dalam negeri.
"Singkatnya, ini upaya mewujudkan kemandirian dan perlindungan data transaksi pembayaran di dalam negeri," ujar Eko.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, rencana evaluasi GSP tersebut merupakan upaya AS untuk bernegosiasi secara bilateral dan menjelaskan posisi mereka kepada negara-negara lain. Adapun Pemerintahan Presiden AS Donald Trump lebih condong kepada kebijakan bilateral, ketimbang kebijakan forum regional seperti yang dilakukan oleh presiden sebelumnya, Barack Obama.
"Menurut saya, ini lebih ke arah gimmick saja, karena perdagangan AS dengan Indonesia tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan negara lain, seperti Cina," ujar Fithra.
Menurut Fithra keluhan AS terhadap kebijakan GPN Indonesia hanya sebatas gertakan agar Indonesia mau bernegosiasi dengan AS. Apalagi, Indonesia memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang cukup besar dengan Cina. Meski hal ini hanya gertakan saja, Fithra menilai, Pemerintah Indonesia harus tetap waspada dan bernegosiasi dengan baik.