Kamis 12 Jul 2018 00:04 WIB

BI: Kenaikan Suku Bunga Picu Aliran Modal Asing Rp 6 Triliun

Suku bunga acuan BI naik 50 basis poin pada Juni.

Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Modal asing masuk melalui Surat Berharga Negara sebesar Rp 6 triliun setelah imbal hasil bergerak kompetitif. Hal itu menyusul kenaikan suku bunga "BI 7-Day Reverse Repo Rate" sebesar 50 basis poin pada 28-29 Juni 2018, kata Bank Sentral.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan dengan aliran modal asing yang masuk (capital inflow), imbal hasil SBN bertenor 10 tahun bergerak ke level 7,4 persen saat ini, setelah sebelumnya di 7,8 persen.

"Imbal hasil SBN Indonesia masih menarik, terbukti 'inflow' sudah mulai ada," ujar dia di Jakarta, Rabu (11/7).

Bank Sentral giat melakukan intervensi di pasar SBN untuk menjaga selisih antara obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun dengan imbal hasil SBN. Stabilisasi di pasar SBN juga semakin gencar dilakukan menyusul perkembangan ekonomi dan arah kebijakan moneter AS yang rentan menimbulkan pembalikkan arus modal dari pasar keuangan di Indonesia.

"Kita jaga supaya domestik tetap menarik bagi investor asing," kata Nanang.

Namun, untuk di pasar saham, Nanang mengakui aliran modal asing yang masuk belum sederas seperti ke pasar SBN. Menurut Nanang, Indonesia bersama negara-negara dengan potensi ekonomi yang terus bertumbuh (emerging market) saat ini menjadi sasaran para investor global.

Namun, modal yang masuk ke negara "emerging market" bukan hanya modal jangka panjang, melainkan juga modal jangka pendek yang rentan kembali ke nagara maju (hot money) saat terjadi perubahan arah kebijakan moneter global.

Maka dari itu, Indonesia perlu meningkatkan resiliensi ekonomi agar memiliki ketahahan ekonomi eksternal yang lebih kuat, dibanding negara-negara dengan kapasitas ekonomi setara (peers) seperti Turki, Argentina, Brazil dan lainnya. Rupiah memang masih rentan depresiatif. Sejak awal tahun hingga 11 Juni 2018, rupiah melemah 5,3 persen (year to date/ytd).

"Kita tidak ingin membandingkan dengan negara lain tapi Argentina itu sudah 30 persen, Brasil sudah 17 persen, Turki sudah di atas 10 persen, India pun sudah di atas 7 persen," kata Nanang.

Bank Sentral, kata Nanang, akan terus bersikap antisipatif (pre-emptive), menerapkan tingkat kebijakan moneter yang mendahului (ahead of the curve) untuk meredam dampak tekanan ekonomi global, terutama untuk menjaga stabilitas rupiah.

"Semua negara memang menaikkan suku bunga sekarang ini, karena likuiditas global lagi ketat. Jadi menaikkan suku bunga sebagai pencegahan," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement