Rabu 11 Jul 2018 11:22 WIB

Kembali Melemah, Rupiah Masih Rentan Guncangan

Rupiah bergerak melemah 26 poin menjadi Rp 14.393 per dolar AS.

Petugas menunjukkan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi).
Foto: ANTARA
Petugas menunjukkan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi bergerak melemah 26 poin menjadi Rp 14.393 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.367 per dolar AS.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada di Jakarta, mengatakan pergerakan Rupiah kembali diuji ketahanannya untuk dapat berbalik arah melanjutkan tren kenaikan.

"Masih rentannya rupiah renghalangi potensi kenaikan lanjutan sehingga perlu dicermati berbagai sentimen, terutama pergerakan sejumlah mata uang global terhadap dolar AS," ujar Reza.

Baca juga,  Menkeu Sri Paparkan Jurus untuk Hadapi Perang Dagang.

Sebelumnya, pergerakan poundsterling melemah seiring dengan kondisi internal pemerintahan Inggris yang terganggu setelah keluarnya dua pejabat penting terkait dengan Brexit.  Kondisi itu dimanfaatkan dolar AS untuk menguat. Imbasnya rupiah ikut terkena pelemahan dan gagal melanjutkan kenaikannya.

Imbauan dari salah satu lembaga peneliti terkait perlu upaya peningkatan ekspor untuk menstabilkan mata uang rupiah tampaknya belum cukup kuat mempertahankan rupiah di zona hijau. Begitu pula langkah pemerintah yang sedang mengidentifikasi sejumlah sektor yang terkena dampak perang dagang AS-Cina,

"Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran 14.363-14.343," ujar Reza.

Senada dengan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu dibuka melemah sebesar 38,77 poin atau 0,66 persen ke posisi  5.842,99. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak turun 9,82 poin (1,06 persen) menjadi 919,23.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, pemerintah Indonesia akan meneliti dan mengatisipasi dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Evaluasi ini akan dilakukan pemerintah pada semester II 2018 yang menjadi enam bulan pertama pascadimulainya pasar dagang oleh AS.

Pemerintah juga bakal menyiapkan berbagai instrumen yang bisa diterbitkan guna mengurangi tekanan pasar dagang. "Dan kita juga berharap daya tahan dari industri dan para pelaku ekonomi kita dalam situasi menghadapi tekanan seperti ini," ujar Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Senin (9/7).

Penerbitan instrumen ini diharap mampu memperkuat ekspor dan berbagai aktivitas ekonomi yang bisa menghasilkan devisa bagi negara termasuk sektor pariwisata. Di sisi impor, pemerintah pun akan mengerem permintaan barang dari luar negeri yang dianggap tidak terlalu prioritas dan bisa dihasilkan oleh produsen dalam negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement