REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development for Economics and Finance (Indef) menilai pelaksanaan Pilkada serentak 27 Juni 2018 yang berlangsung aman merupakan modal kuat untuk membangkitkan optimisme perekonomian. Namun, sejauh ini berbagai indikator ekonomi belum memberikan sinyal akan hadirnya optimisme itu.
Direktur Eksekutif Indef Eny Sri Hartati menjelaskan, dinamika politik tidak hanya dianggap menjadi ‘batu sandungan’ akselerasi ekonomi, seiring meningkatnya eskalasi ketidakpastian sehingga terjadi aksi wait and see. Namun, Pilkada juga dapat bernuansa optimisme membawa angin perubahan dan menjadi mesin pendorong perekonomian di daerah. "Dampak positif maupun negatif hajatan demokrasi ini bagi perekonomian akan tampak lebih gamblang usai Pilkada dilaksanakan," ujar Eny, Selasa (3/7).
Ia menjelaskan kondisi perekonomian saat ini, secara umum inflasi rendah, namun stagnansi daya beli masih saja terjadi. Kenaikan bunga acuan juga belum mampu menjinakkan laju Rupiah yang semakin melemah. Defisit neraca perdagangan justru semakin menekan, dipicu lonjakan impor menghadapi bulan puasa dan hari raya lebaran.
Secara umum, inflasi hingga Juni 2018 tergolong kategori rendah, namun harga di sektor transportasi dan bahan makanan tetap tidak dapat dikendalikan secara efektif. Pada lebaran kali ini, kedua kelompok tersebut menjadi penyumbang tertinggi inflasi Juni 2018.
Baca juga, Pemerintah Yakin Inflasi Rendah Jaga Tingkat Daya Beli.
Menurut Peneliti Indef, Esa Suryaningrum, daya beli tertahan menyebabkan stimulus perekonomian tidak bisa dioptimalkan. Sektor konsumsi sampai tengah tahun belum cukup terpengaruh secara kumulatif akibat tertahannya daya beli masyarakat. "Akibatnya, pengaruh hari raya dan Pilkada tidak dapat memberikan sumbangsih optimal terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018," ujar Esa.
Sementara itu, anomali semakin besarnya impor khususnya barang konsumsi di tengah depresiasi, kian memicu pelemahan rupiah. Dampaknya akan terasa pada kenaikan harga-harga barang konsumsi tidak tahan lama, makanan dan minuman rumah tangga, serta Bahan Bakar Minyak (BBM). Artinya potensi imported inflation semakin meningkat dan akan berujung pada penurunan daya beli masyarakat.
Kenaikan harga BBM juga mengancam daya beli masyarakat. Dengan biaya transportasi rata-rata masyarakat Indonesia saat ini sebesar 30 persen dari penghasilan, maka masyarakat akan mengurangi konsumsinya terhadap barang konsumsi lainnya untuk mengkompensasi kenaikan harga beberapa jenis BBM non subsidi yang naik 1 Juli 2018 lalu.