REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), mata uang Garuda itu hari ini, Kamis (28/6), berada di posisi Rp 14.271 per dolar AS.
Bahkan, dari pantauan di Reuters, rupiah telah mencapai Rp 14.325 per dolar AS. Kemudian di spot perdagangan mata uang telah menembus Rp 14.370 per dolar AS pada pukul 15.00 WIB.
Pengamat Ekonomi dari Asian Development Bank Institute Eric Sugandi menilai, pelemahan itu terjadi karena masih ada kekhawatiran pasar terhadap perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina. Selain dengan Cina, kata dia, AS pun mengancam perang dagang dengan Eropa, Kanada, serta Meksiko.
"Perang dagang dalam skala akan global akan merugikan perekonomian dunia secara keseluruhan. Baik dalam jangka pendek maupun menengah dan panjang. Pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat karena perang dagang," tuturnya kepada Republika.co.id, Kamis (28/6).
Baca Juga: Rupiah Terperosok ke Level Rp 14.200 per Dolar AS
Apalagi, ia menilai, Cina, AS, dan Eropa termasuk negara yang menjadi tujuan uama ekspor Indonesia. "Jadi kalau pertumbuhan ekonomi mereka terganggu ekspor Indonesia bisa terganggu," jelasnya.
Kalau benar terjadi perang dagang, menurutnya Cina akan alihkan produk-produk ekspornya misal baja, alumunium ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hal ini bisa memperbesar current account deficit Indonesia serta lemahkan support fundamen ekonomi terhadap rupiah.
Di sisi lain, kata Eric, memang terjadi outflows portfolio investment dari emerging markets dari emerging markets termasuk Indonesia ke AS, utamanya dari bursa saham. Investor asing juga terpengaruh oleh persepsi negatif terhadap trade war dan resiko membengkaknya current account deficit.
"Itu semua lemahkan kurs rupiah," tegas Eric. Lebih lanjut, ia menuturkan rencana Bank Indonesia (BI) naikkan suku bunga acuan belum bisa memberikan sentimen positif.
"tapi lebih baik BI naikkan suku bunga daripada tidak kalau BI tidak dipersepsikan proaktif, outflows-nya malah beresiko lebih besar tekanan eksternalnya memang masih terlalu kuat. Hanya saja seperti saya bilang, tidak perlu setiap kali suku bunga acuan AS naik suku bunga acuan BI mesti naik," jelasnya.
Baca Juga: Rupiah Tertekan, BI Diyakini akan Kembali Naikkan Suku Bunga