Selasa 26 Jun 2018 16:13 WIB

Mencari Solusi Atas Anjloknya Harga Lada

Produksi lada di Indonesia kurang dari satu ton per hektare.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi (paling kiri), dan Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman (paling kanan) saat acara  The 7th Meeting of ASEAN National Focal Point Working Group on Pepper di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Selasa (26/6).
Foto: Muhammad Hafil
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi (paling kiri), dan Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman (paling kanan) saat acara The 7th Meeting of ASEAN National Focal Point Working Group on Pepper di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Selasa (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, PANGKAL PINANG -- Meski menjadi komoditas yang diunggulkan oleh pemerintah, komoditas lada masih diselimuti masalah. Di antaranya soal rendahnya produksi dan anjloknya harga.

Menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi, lada menjadi salah satu komoditas perkebunan yang penting. Sebanyak 273.421 petani bekerja di perkebunan lada dan memberikan kontribusi untuk membuka pekerjaan di samping komoditas lainnya, seperti minyak sawit, kopi, teh, kakao, dan karet.

Untuk ekspor, lada menyumbang 42 ribu ton dan menghasilkan 236 juta dolas AS. Saat ini, Indonesia menjadi negara produsen lada terbesar kedua setelah Vietnam.

Namun, hal tersebut dinilai masih menunjukkan produksi lada belum maksimal. Total area untuk perkebunan lada pada 2017 mencapai 181.978 hektare dengan total produksinya sebesar 87.029 ton. "Ini artinya produksi lada di Indonesia kurang dari satu ton per hektare," kata Dedi dalam sambutan pada acara The 7th Meeting of ASEAN National Focal Point Working Group on Pepper, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Selasa (26/6).

Sementara itu, Vietnam, dengan luas lahan perkebunan lada hanya 51 ribu hektare, sanggup memproduksi lada lebih dari 150 ribu ton. 

Masalah lainnya adalah soal harga lada yang anjlok. Dedi mencontohkan, pada Mei 2018, harga lada putih Muntok di bawah Rp 65 ribu. Sementara itu, pada awal tahun harganya mencapai Rp 90 ribu.

"Kondisi ini dikhawatirkan menghalangi keinginan petani untuk membudidayakan dan memelihara lada sebagai potensi pertanian," kata Dedi.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengampanyekan gerakan kebangkitan kejayaan rempah pada 2018 ini. Di antara upayanya adalah melakukan peremajaan serta mendorong masyarakat untuk mengonsumsi lada, meningkatkan produksi lada, dan mempromosikan lada. 

"Pada 15 mei lalu, Dirjen Perkebunan bersama dengan sembilan gubernur provinsi berkumpul di Bangka untuk mendukung produksi lada di daerahnya masing-masing," kata Dedi.

Karena itu, Dedi berharap adanya pertemuan para pemangku kepentingan industri lada di ASEAN di Bangka bisa memberikan solusi atas masalah anjloknya harga lada.

Dedi mengatakan, dalam pertemuan ini nanti delegasi dari beberapa negara akan menyampaikan pengalamannya dalam mengatasi masalah lada. Misalnya, di Malaysia ada jaminan asuransi jika harga lada jatuh atau ada penerapan harga minimal lada.

"Nantinya hasil pertemuan ini akan dibawa ke forum menteri-menteri ASEAN," kata Dedi.


Kualitas lada

Di sela-sela pertemuan, Direktur Eksekutif Internasional Pepper Community (IPC) Hoang Thi Lien menyebutkan persoalan menurunnya harga lada merupakan masalah internasional.  Sehingga, tidak hanya Indonesia selaku produsen lada yang mengalami masalah ini.

"Ada beberapa faktor yang menyebabkan merosotnya harga lada, di antaranya, persoalan kualitas lada, menyeimbangkan antara produksi dan permintaan," kata Lien.

Karena itu, Lien menyarankan agar pengendalian hama dan penyakit pada tanaman lada terus ditingkatkan. Kemudian, para pemangku kepentingan diminta untuk fokus meningkatkan produktivitas daripada menambah area perkebunan.

Menanggapi soal kualitas lada ini, Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman mengatakan, untuk memproduksi lada yang berkualitas, para petani harus terus diberikan pengetahuan.

"Kapan mulai menanam, kapan memanen, kapan menjual, dan bagaimana prosesnya, ini harus dilakukan," kata Erzaldi yang oleh Kementerian Pertanian dinobatkan sebagai Presiden Lada Indonesia itu.

Menurut dia, turunnya harga lada ini bukan hanya soal masalah permintaan dan ketersediaan. "Turunnya harga lada ini bukan hanya supply and demmand, tapi ada unsur kualitas," kata Erzaldi.

Sementara itu, Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wilistra Danny, mengatakan, petani harus didorong memiliki visi korporasi. Misalnya, petani langsung dimitrakan dengan industri, kemudian dikenalkan ke pasar, dan mengelola keuangannya.

"Dengan begitu petani akan tahu yang dibutuhkan adalah lada yang berkualitas. Karena dengan lada yang berkualitas, di pasar akan dihargai lebih baik," kata Wilistra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement